Selamat Datang Kawan-kawan di Blognya Aris Wahyu Nugroho
Saat ini aku Kuliah Jurusan Informatika di Batam..!! bagi kalian yang mau berkenalan bisa Add Facebook saya..Jangan Lupa yaa klik Like nya,, biar tambah semangat

Tata Cara Sholat Dhuha yang Benar

Selasa, 18 Desember 2012 | komentar (14)


SHOLAT DHUHA
Shalat Dhuha adalah shalat sunnat yang dilakukan seorang muslim ketika matahari sedang naik. Jumlah raka’at shalat dhuha bisa dengan 2,4,8 atau 12 raka’at. Dan dilakukan dalam satuan 2 raka’at sekali salam

A. Tata Cara Shalat Dhuha
Diriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir bahwa Rosulullah saw bersabda: “Sholatlah kalian dua roka’at dari sholat Dluha dengan membaca dua surat tentangnya: wasy-syamsi wa dluhaha dan surat adh-Dluha
  • Pada rakaat pertama setelah Al-Fatihah membaca surat Asy-Syams
  • Pada rakaat kedua membaca surat Adh-Dhuha
Dan diriwayatkan dari al ‘Uqaili bahwa Rosulullah saw dalam dua roka’at sholat Dluha membaca Qul ya ayyuhal kafirun dan Qul huwallahu ahad
  • Pada rakaat pertama Al kafirun
  • Pada rakaat kedua Al Ikhlas
Niat shalat dhuha adalah:
Ushallii sunnatadh-dhuhaa rak’ataini lillaahi ta’aalaa.
Artinya: ” Aku niat shalat sunat dhuha dua rakaat, karena Allah.”
Dzikir setelah Dhuha
Diriwayatkan setelah shalat dhuha Nabi S.A.W membaca
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَ تُبْ عَلَيَّ إِ نَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الْغَفُوْرَ
Robbigh firly watub ‘alayya innaka antat-tawwaabul Ghofur ( dibaca 100 x )


Ya Robbi,  Ampunilah aku dan terimalah taubatku, Sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat dan ampunan

Doa yang dibaca setelah shalat dhuha:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
ALLAAHUMMA INNADH-DHUHAA ‘ADHUHAA ‘UKA, WAL BAHAA ‘ABAHAA ‘UKA, WAL JAMAALA JAMAALUKA,  WAL QUWWATA QUWWATUKA,  WAL QUDRATA QUDRATUKA,  WAL ‘ISHMATA ‘ISHMATUKA

ALLAAHUMMA IN KAANA RIZQII FIS-SAMAA ‘I FA ANZILHU,  WA IN KAANA FIL ARDI FA AKHRIJHU,  WA IN KAANA MU’ASSARAN FA YASSIRHU,  WA IN KAANA HARAAMAN FATHAHHIRHU,  WA IN KAANA BA’IIDAN FA QARRIBHU, BIHAQQI DHUHAA ‘IKA, WA BAHAA ‘IKA, WA JAMAALIKA, WA QUWWATIKA, WA QUDRATIKA AATINII MAA ‘ATAITA ‘IBAADAKASH-SHAALIHIIN.

Artinya:
 “ Ya ALLAH, bahwasanya waktu Dhuha itu waktu Dhuha-MU dan kecantikan adalah kecantikanMU dan keindahan adalah keindahan-MU dan kekuatan adalah kekuatan-MU dan kekuasaan adalah kekuasaan-MU dan perlindungan itu adalah perlindungan-MU. YA ALLAH, jikalau rejekiku masih diatas langit, maka turunkanlah, Dan jikalau ada didalam bumi maka keluarkanlah dan jikalau sukar maka mudahkanlah dan jika haram maka sucikanlah dan jikalau masih jauh maka dekatkanlah dengan berkat waktu Dhuha, keagungan, keindahan, kekuatan dan kekuasaan-MU. Limpahkanlah kepada kami segala yang telah Engkau limpahkan kepada hamba-hambamu yang shaleh.

B. Rahasia dan Keutamaan shalat Dhuha
Hadits Rasulullah saw yang menceritakan tentang keutamaan shalat Dhuha, di antaranya:

1. Sedekah bagi seluruh persendian tubuh manusia
Dari Abu Dzar al-Ghifari ra, ia berkata bahwa Nabi Muahammad saw bersabda:
“Di setiap sendiri seorang dari kamu terdapat sedekah, setiap tasbih (ucapan subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (ucapan alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahlil (ucapan lailahaillallah) adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, mencegah dari kemungkaran adalah sedekah. Dan dua rakaat Dhuha diberi pahala” (HR Muslim).

2. Ghanimah (keuntungan) yang besar
Dari Abdullah bin `Amr bin `Ash radhiyallahu `anhuma, ia berkata:
“Rasulullah saw mengirim sebuah pasukan perang. Nabi saw berkata: “Perolehlah keuntungan (ghanimah) dan cepatlah kembali!. Mereka akhirnya saling berbicara tentang dekatnya tujuan (tempat) perang dan banyaknya ghanimah (keuntungan) yang akan diperoleh dan cepat kembali (karena dekat jaraknya). Lalu Rasulullah saw berkata; “Maukah kalian aku tunjukkan kepada tujuan paling dekat dari mereka (musuh yang akan diperangi), paling banyak ghanimah (keuntungan) nya dan cepat kembalinya? Mereka menjawab; “Ya! Rasul berkata lagi: “Barangsiapa yang berwudhu’, kemudian masuk ke dalam masjid untuk melakukan shalat Dhuha, dia lah yang paling dekat tujuanannya (tempat perangnya), lebih banyak ghanimahnya dan lebih cepat kembalinya.” (Shahih al-Targhib: 666)

3. Sebuah rumah di surga
Bagi yang rajin mengerjakan shalat Dhuha, maka ia akan dibangunkan sebuah rumah di dalam surga. Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits Nabi Muahammad saw:

“Barangsiapa yang shalat Dhuha sebanyak empat rakaat maka  akan dibangunkan sebuah rumah di surga.” (HR. Ath Thabarani)

4. Memeroleh ganjaran di sore hari
Dari Abu Darda’ ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw berkata:
“Allah ta`ala berkata: “Wahai anak Adam, shalatlah untuk-Ku empat rakaat dari awal hari, maka Aku akan mencukupi kebutuhanmu (ganjaran) pada sore harinya” (Shahih al-Jami: 4339).

Dalam sebuah riwayat juga disebutkan: “Innallaa `azza wa jalla yaqulu: Yabna adama akfnini awwala al-nahar bi’arba`i raka`at ukfika bihinna akhira yaumika” (“Sesungguhnya Allah `Azza Wa Jalla berkata: “Wahai anak Adam, cukuplah bagi-Ku empat rakaat di awal hari, maka aku akan mencukupimu di sore harimu”).

Pahala Umrah
Dari Abu Umamah ra bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dalam keadaan bersuci untuk melaksanakan shalat wajib, maka pahalanya seperti seorang yang melaksanakan haji. Barangsiapa yang keluar untuk melaksanakan shalat Dhuha, maka pahalanya seperti orang yang melaksanakan `umrah….(Shahih al-Targhib: 673). Dalam sebuah hadits yang lain disebutkan bahwa Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang mengerjakan shalat fajar (shubuh) berjamaah, kemudian ia (setelah usai) duduk mengingat Allah hingga terbit matahari, lalu ia shalat dua rakaat (Dhuha), ia mendapatkan pahala seperti pahala haji dan umrah; sempurna, sempurna, sempurna” (Shahih al-Jami`: 6346).

5. Ampunan Dosa
“Siapa pun yang melaksanakan shalat dhuha dengan langgeng, akan diampuni dosanya oleh Allah, sekalipun dosa itu sebanyak buih di lautan.” (HR Tirmidzi)
Kebenaran Mutlak milik Allah dan Kesalahan dari saya
Wa’allahu a’lam bi-showab
وَنَعُوْ ذُ باِاللهِ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ
Wa Na’udzubillah min ilmin laa yanfa’u
Dan Kita berlindung kepada Allah, dari ilmu yang tidak bermanfa’at
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus

Demikian penjelasan tentang Tata Cara Sholat Dhuha yang Benar


src  punya-magna_ariswahyu37


Hati-hati Waktu Haram Sholat Dhuha

| komentar


Sebelum melaksanakan sholat dhuha, ada baiknya kita mengetahui waktu-waktu yang diharamkan melaksanakan sholat secara umum. Karena walaupun sholat dhuha hukumnya sunnah, tetapi bila dilaksanakan pada waktu yang haram bukanlah pahala yang kita dapat, malah jadi dosa.
Berikut waktu-waktu yang diharamkan untuk melaksanakan sholat berdasarkan hadits-hadits Rasulullah SAW:


Dari Ibnu Abbas berkata: “Datanglah orang-orang yang diridhai dan ia ridha kepada mereka yaitu Umar, ia berkata bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang sholat sesudah Subuh hingga matahari bersinar, dan sesudah Asar hingga matahari
terbenam.” [HR. Bukhari]

Dari Ibnu Umar berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Apabila sinar matahari terbit maka akhirkanlah (jangan melakukan) sholat hingga matahari tinggi. Dan apabila sinar matahari terbenam, maka akhirkanlah (jangan melakukan) sholat
hingga matahari terbenam”. [HR. Bukhari]

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang dua sholat. Beliau melarang sholat sesudah sholat Subuh sampai matahari terbit dan sesudah sholat Asar sampai matahari terbenam. [HR. Bukhari]

Dari Muawiyah ia berkata (kepada suatu kaum): “Sesungguhnya kamu melakukan sholat (dengan salah). Kami telah menemani Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, kami tidak pernah melihat beliau melakukan sholat itu karena beliau telah melarangnya,
yaitu dua rakaat sesudah sholat Asar”. [HR. Bukhari]

Dari Uqbah bin Amir: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang sholat pada tiga saat: (1) ketika terbit matahari sampai tinggi, (2) ketika hampir Zuhur sampai tergelincir matahari, (3) ketika matahari hampir terbenam.” [HR. Bukhari]

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang sholat pada waktu tengah hari tepat (matahari di atas kepala), sampai tergelincir matahari kecuali pada hari Jumat. [HR. Abu Dawud] Menurut jumhur ulama, sholat ini adalah sunat Tahiyatul Masjid, selain sholat ini tetap dilarang melakukan sholat apapun.

Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: “Matahari terbit dengan diikuti setan. Pada waktu mulai terbit, matahari berada dekat dengan setan, dan ketika telah mulai meninggi berpisah darinya. Pada waktu matahari berada tepat di tengahtengah
langit, ia kembali dekat dengan setan, dan ketika telah zawal (condong ke arah barat) ia berpisah darinya. Pada waktu hampir terbenam, ia dekat dengan setan, dan setelah terbenam ia berpisah lagi darinya.” [HR. Nasa’i]

Waktu-waktu itu adalah waktu yang haram untuk shalat. Artinya apabila kita melakukan shalat sunat pada waktu haram, maka bukan pahala yang kita dapatkan, melainkan dosa.

Waktu-waktu haram yang mengapit shalat Dhuha:
1. Waktu haram #1 = sesudah Shalat Subuh hingga matahari bersinar, atau kurang lebih sejak jam 06:00 AM hingga 07:45 AM
2. Waktu haram #2 = ketika hampir masuk waktu Zuhur hingga tergelincir matahari, atau kurang lebih jam 11:30 AM hingga 12:00 PM

Dari Zaid bin Arqam, bahwa ia melihat orang-orang mengerjakan shalat Dhuha [pada waktu yang belum begitu siang], maka ia berkata: “Ingatlah, sesungguhnya mereka telah mengetahui bahwa shalat Dhuha pada selain saat-saat seperti itu adalah lebih utama,

karena sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Shalatnya orang-orang yang kembali kepada ALLAH adalah pada waktu anak-anak onta sudah bangun dari pembaringannya karena tersengat panasnya matahari”. [HR. Muslim]


Penjelasan:
Anak-anak onta sudah bangun karena panas matahari itu diqiyaskan dengan pagi hari jam 08:00 AM, adapun sebelum jam itu dianggap belum ada matahari yang sinarnya dapat membangunkan anak onta.


src  punya-magna_ariswahyu37

Tata Cara Berdoa yang Cepat Terkabul

Senin, 17 Desember 2012 | komentar


Cara berdoa yang dikabulkan dan mustajab dengan cepat oleh Allah SWT yang baik dan benar - Berdo’a merupakan salah satu bentuk ibadah, karena dalam do’a terkandung sebuah pengakuan dari seorang hamba yang lemah, makhluk yang tak berdaya dihadapan Yang Maha Kuasa. Setia do’a akan dikabulkan oleh Allah, namun agar cepat dikabulkan sebaiknya pendo’a memperhatikan adab atau tata krama dalam berdo’a, tentunya kita mau do’a kita cepat dikabulkan bukan?

1. waktu dan hari yang mulia: adapun beberapa diantaranya adalah setelah sholat fardu, waktu sahur, akhirnya malam, hari jum’at, hari Arofah, bulan Ramadhan, dll.
2. dalam posisi dan situasi yang mulia: yaitu dengan posisi sujud, saat berada di medan perang, saat turun hujan, dll.
3. menghadap kiblat karena Ka’bah adalah Baitullah. Ibaratnya, masa kita mau minta tapi muka kita entah menghadap kemana.
4. dengan suara yang sedang, tidak keras dan tidak terlalu pelan.
5. tidak disyairkan: menggunakan kalimat sederhana, tidak dibuat-buat namun menunjukkan kelemahan dan kekurangan sang pendo’a.
6. hati yang khusu’ dan sikap yang tadhorru’
7. yakin do’a kita akan dikabulkan.
8. terus menerus secara istiqomah.
9. dimulai dengan menyebut nama Allah, sholawat, dan hamdalah.
10. bertaubat.
Ada banyak faktor lain yang mempercepat do’a kita dikabulkan seperti sodaqoh ke fakir miskin dan amal jariyah. Waktu antara khutbah pertama jum’at dan khutbah kedua juga adalah waktu yang ijabah, berdo’lah diantara khutbah itu.

10 Adab dalam berdo’a ini saya ambil dari buku tuntunan do’a-do’a Ulama Salaf. semoga bermanfaat.


src  punya-magna_ariswahyu37

Apa yang menghalangimu untuk berjilbab ?

| komentar


Ketika seorang hamba mengaku beriman kepada Allah, percaya bahwa Allah lebih bijaksana dan lebih mengetahui dalam penetapan hukum daripada dirinya -sementara dia sangat miskin dan sangat lemah- maka jika telah datang perintah dari Allah, tidak ada pilihan lain baginya kecuali menaati perintah tersebut. Ketika mendengar perintah Allah, sebagai seorang mukmin atau mukminah mereka wajib mengatakan sebagai mana yang dikatakan orang-orang beriman :

“… Kami dengar dan kami ta’at”. (Mereka berdo’a) ‘Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.’ (Al-Baqoroh : 285)

Ketika Allah memerintahkan kita dengan suatu perintah, Dia maha mengetahui bahwa perintah itu untuk kebaikan kita, dan salah satu sebab bagi tercapainya kebahagiaan kita. Demikian pula dengan halnya ketika memerintahkan wanita ber-hijab, Dia Maha Mengetahui bahwa itu adalah salah satu sebab tercapainya kebahagiaan, kemuliaan dan keagungan wanita.

Wahai ukhti yang tidak ber-hijab, akan ada bahaya yang akan menimpamu, baik di dunia maupun di akhirat, diantaranya adalah seperti disebutkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dalam sabdanya :
“Akan ada di akhir umatku kaum lelaki yang menunggang pelana seperti layaknya kaum lelaki, mereka turun di depan pintu-pintu masjid, wanita-wanita mereka berpakaian (tetapi) telanjang, di atas kepala mereka (terdapat sesuatu) seperti punuk onta yang lemah gemulai. Laknatlah mereka!, sesungguhnya mereka adalah wanita-wanita terlaknat.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (2/233)).

Dalam hadits tadi Rosulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan setiap muslim, agar melaknat tipe wanita seperti yang telah disebutkan. Yaitu mereka yang mengenakan pakain di tubuh mereka, tapi tidak sampai menutup auratnya, sehingga seakan-akan mereka telanjang.
Dalam hadits Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
“Dua kelompok termasuk penghuni Neraka, aku (sendiri) belum pernah melihat mereka, yaitu orang-orang yang membawa cemeti seperti ekor sapi, dengannya mereka mencambuki manusia dan para wanita yang berpakaian (tetapi) telanjang, bergoyang-goyang dan berlenggak-lenggok, kepala mereka (ada sesuatu) seperti punuk onta yang bergoyang-goyang. Mereka tentu tidak akan masuk Surga, bahkan tidak akan mendapatkan baunya. Dan sesungguhnya bau Surga itu tercium dari perjalanan sekian dan sekian. (Hadits riwayat Muslim, hadits nomor : 2128)

Dalam hadits tersebut terdapat sifat-sifat secara rinci tentang golongan wanita ini, yaitu :
Mengenakan sebagian pakaian, tetapi dia menyerupai orang telanjang, karena sebagian besar tubuhnya terbuka dan itu mudah membangkitkan birahi laki-laki, seperti paha, lengan, rambut, dada dan lain-lainnya. Juga pakaian yang tembus pandang atau yang sangat ketat, sehingga membentuk lekuk-lekuk tubuhnya, maka ia seperti telanjang meski berpakaian.


Jalannya lenggak-lenggok dan bergoyang, sehingga membangkitkan nafsu birahi.
Kepalanya tampak lebih tinggi, sebab ia membuat seni hiasan dari bulu atau rambut sintetis. Karena tingginya, ia seperti punuk onta.
Hadits tersebut juga menjelaskan hakikat golongan wanita yang tidak masuk Surga, bahkan sekedar mencium bau wanginya pun tidak. Padahal rahmat Allah meliputi segenap langit dan bumi. Belum lagi Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam yang menyuruh kaum muslimin agar melaknat mereka.


“Laknatlah mereka, sesungguhnya mereka adalah wanita terlaknat”

Wahai ukhti yang tidak ber-hijab….
Semoga Allah mengisi hatiku dan hatimu dengan cahaya-Nya yang tidak pernah padam, lalu kita menang dalam pertarungan melawan Setan, Jin dan Manusia. Selanjutnya kita berketetapan melepaskan jeratan dan memerdekakan diri dari tawanan hawa nafsu, menuju alam kebebasan, kemuliaan, kehormatan, ketenangan dan alam kesucian.

Nas’alullah was Salamah wa Baarokallahu fiikunna…


src  punya-magna_ariswahyu37

Saudari ku, apa yang terbayang ketika mendengar kata “Jilbab”?

Minggu, 16 Desember 2012 | komentar


Jilbab…? Kain yang cuma buat kepala terasa gerah & panas…!!
Jilbab…? kaya ibu-ibu…!!
Jilbab…? Cuma bikin kita keliatan gak cantik dan keliatan tua…!!
Jilbab…? Bikin repot dan nyusahin….!!
Jilbab…? Susah kalau mau nyari kerja…!!
Jilbab…? Temen-temen bilang gak pantes…!!
Jilbab…? Nggak bikin jadi sexy…!!
Jilbab…? Kaya orang bener aja pake jilbab…..Belom siap pake jilbab…!!
Jilbab…? Sayang, udah cape nyalon kok malah ditutup…!!

Astaghfirullah al aziim…….!!!!

Wahai saudari ku, ketahuilah bahwa ALLAH SWT memerintahkan kamu untuk menutup aurat mu, sebagai mana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat :
  • QS. al-Ahzab ayat 36, yang artinya :
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.
  • Al-Ahzab ayat 59, yang artinya :
Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “ Hendaklah mereka mengulurkan Jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ”
  • An-nuur ayat 31, yang artinya :
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.
Dan sebagiai mana Rasullullah SAW berkata dalam Haditsnya :
  • Dua kelompok termasuk penghuni Neraka, aku (sendiri) belum pernah melihat mereka, yaitu orang-orang yang membawa cemeti seperti ekor sapi, dengannya mereka mencambuki manusia dan para wanita yang berpakaian (tetapi) telanjang, bergoyang-goyang dan berlenggak-lenggok, kepala mereka (ada sesuatu) seperti punuk onta yang bergoyang-goyang. Mereka tentu tidak akan masuk Surga, bahkan tidak akan mendapatkan baunya. Dan sesungguhnya bau Surga itu tercium dari perjalanan sekian dan sekian.
(Hadits riwayat Muslim, hadits nomor : 2128)
  • Akan ada di akhir umatku kaum wanita yang menunggang pelana seperti layaknya kaum lelaki, mereka turun di depan pintu-pintu masjid, wanita-wanita mereka berpakaian (tetapi) telanjang, di atas kepala mereka (terdapat sesuatu) seperti punuk onta yang lemah gemulai. Laknatlah mereka!, sesungguhnya mereka adalah wanita-wanita terlaknat.
(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (2/233)
  • Apa yang harus diperbuat wanita dengan bawah baju mereka? Nabi bersabda : Hendaklah ia turunkan satu jengkal ( dari mata kaki ) Ummul Mu’minin berkata : “ kalau begitu akan tersingkap kaki kami, wahai Rasulullah” Nabi bersabda : “ turunkan satu lengan dan jangan dilebihkan” . ( HR. Bukhari dan Muslim )
Wahai saudari ku…………

Apakah kau akan tetap membuka dan mempertontonkan Aurat mu….?
Ketahuilah, Allah SWT akan menjaga dan memuliakan mu apabila kau taat dan patuh kepada perintah-Nya. Dan ketahuilah bahwa Azab Allah itu sagat mengerikan….!!

Semoga ALLAH SWT memberikan Hidayah-Nya kepada kita semua, dan semoga Rosulullah SAW memberikan Safaatnya kepada kita pada yaumul hisab nanti, Amin…..
Maha besar ALLAH atas segala Kehendak-Nya…..


src  punya-magna_ariswahyu37

Mengumandangkan Adzan, Iqomah Sekaligus Menjadi Imam, Bolehkah?

| komentar


Pertanyaan: 
Assalamu ‘alaikum ustadz, saya mau tanya beberapa pertanyaan, ‘Apakah boleh imam mengumandangkan adzan, iqamah sekaligus menjadi imam bagi makmumnya. tapi hal ini bukan dimasjid tapi mengimami shalat wajib dirumah.’ Jika boleh, tolong sertakan dalilnya ustad. Jazakallahu khair ustadz, barakallahu fiik.


Jawaban:
Dijawab oleh ustadz Ammi Nur Baits
Azan, Iqamah, dan merangkap menjadi imam 
Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah…


Diperbolehkan bagi imam masjid untuk melakukan azan, iqamah, dan sekaligus menjadi imam. Dalam Mawahibul Jalil dikatakan,


“Siapa yang memperkerjakan seseorang untuk menjadi muazin, iqamah, dan menjadi imam, maka ini diperbolehkan. Upah yang diberikan adalah sebagai ganti untuk usahanya dalam menjaga azan, iqamah, dan menjaga masjid, bukan untuk shalatnya.”

Demikian pula dibolehkan seseorang hanya melakukan adzan dan iqamah tanpa menjadi imam. An-Nawawi mengatakan dalam kitab Al-Majmu’, ‘Kaum muslimin sepakat bolehnya seorang muazin menjadi imam, bahkan dianjurkan. Penulis kitab Al-Hawi mengatakan, ‘Masing-masing, antara azan dan iqamah memiliki keutamaan.’”

Oleh karena itu, orang yang memungkinkan menggabungkan antara tiga hal tersebut; azan, iqamah, dan menjadi imam maka itu lebih utama. Adapun, praktek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khulafaur rasyidin, di mana mereka tidak pernah melakukan azan dan sekaligus menjadi imam, karena kesibukan mereka dengan urusan yang lebih penting, dari pada sekedar azan dan iqamah.

Allahu a’lam


src1 dan src2   punya-magna_@ariswahyu37

Persiapan Shalat: Menghadap Kiblat

| komentar (1)


1. Kiblat kaum muslimin adalah Ka’bah di kota Mekkah Al-Mukarramah.

2. Bagi orang yang bisa melihat Ka’bah secara langsung (misalnya, orang yang berada di masjidil haram) maka wajib menghadapkan tubuhnya tepat persis ke arah Ka’bah.

3. Bagi yang tidak bisa melihat Ka’bah (misalnya orang Indonesia), maka cukup menghadapkan tubuhnya ke arah Ka’bah berada yaitu ke arah barat bagi orang yang berada di timur Ka’bah. Dan tidak harus menghadap tepat persis ke Ka’bah. Oleh karena itu, tidak perlu serong beberapa derajat ke utara ketika shalat. Demikian, menurut pendapat yang paling kuat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan para sahabat untuk shalat persis menghadap Ka’bah. Beliau bersabda, “Antara timur dan barat adalah kiblat.” (HR. Turmudzi & dishahihkan Al-Albani)

Hadis ini beliau sampaikan ketika beliau di Madinah, sedangkan Mekkah berada di sebelah selatan. Beliau mengajarkan kepada para sahabat bahwa selama menghadap ke selatan (antara timur dan barat) maka sudah dianggap menghadap kiblat. Beliau tidak memerintahkan untuk menghadap tepat persis ke Ka’bah namun beliau hanya menetapkan arahnya, yaitu ke selatan.

4. Orang yang tidak mengetahui arah kiblat, maka wajib berusaha untuk mencari tahu arah kiblat. Hal ini bisa dilakukan dengan bebecara cara:
a. Bertanya kepada penduduk setempat atau orang yang tahu.
b. Jika tidak mungkin untuk bertanya maka bisa menggunakan tanda-tanda alam. Seperti sinar matahari, arah angin, dan sebagainya.

5. Jika dua cara di atas tidak memungkinkan maka shalat menghadap ke arah manapun berdasarkan dugaan kuat bahwasanya arah itu adalah kiblat.

6. Jika ternyata arah yang dia pilih itu salah (artinya tidak menghadap kiblat) maka shalatnya sah dan tidak perlu diulangi.
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
Kami pernah dalam suatu perjalanan, tiba-tiba kami diliputi awan gelap. Kemudian masing-masing memilih arah kiblat dan arah kiblat kami berbeda-beda. Seseorang di antara kami membuat garis di depannya supaya tahu ke arah mana ketika shalat. Ketika di pagi hari, kami melihat garis yang dibuat semalam. Ternyata kami shalat tidak menghadap kiblat. Kejadian ini kami sampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam [tetapi beliau tidak menyuruh kami mengulangi shalat]. Beliau bersabda, “Shalat kalian sudah benar.” (HR. Daruqutni & dishahihkan Al Albani).


7. Bagi orang yang tidak tahu arah kiblat dan memungkinkan baginya untuk mengetahui arah kiblat dengan bertanya kepada penduduk setempat namun dia tidak mau bertanya, sehingga shalatnya tidak menghadap kiblat maka shalatnya batal dan harus diulangi.

8. Orang yang shalat dengan tidak menghadap kiblat, kemudian di tengah-tengah shalat dia diingatkan bahwa kiblatnya salah maka tidak perlu membatalkan shalatnya namun cukup menghadapkan tubuhnya ke arah kiblat yang benar.

Kiblat di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  pernah mengalami berubahan. Kiblat pertama adalah Baitul Maqdis di Syam (utara Madinah) kemudian turun Surat Al Baqarah ayat 144 yang mengubah kiblat ke arah Ka’bah di Masjidil Haram (selatan Madinah).


Suatu ketika, kaum muslimin di masjid Quba shalat subuh dengan menghadap Baitul Maqdis (utara). Tiba-tiba datang utusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah mereka shalat. Utusan ini mengatakan, “Sesungguhnya semalam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendapat wahyu, beliau disuruh menghadap Ka’bah. Maka, hendaklah kalian menghadap ke sana.” Akhirnya, para sahabat yang sedang melaksanakan shalat subuh berjamaah memutar arah tubuhnya. Imam berputar, yang awalnya menghadap ke utara menjadi shalat jamaah menghadap ke selatan. Ini semua mereka lakukan tanpa membatalkan shalat. (HR. Bukhari & Muslim).

9. Orang yang berada di atas kendaraan
a. Jika ingin melakukan shalat wajib maka diupayakan turun dari kendaraan. Jika tidak memungkinkan turun maka bisa shalat di atas kendaraan sambil duduk.
“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak melakukan shalat wajib, beliau turun (dari hewan tunggangannya), lalu shalat (di tanah) dengan menghadap kiblat.” (HR. Bukhari)

b. Jika ingin shalat sunah maka tidak perlu turun dan bisa langsung shalat di atas kendaraan sambil duduk.

c. Orang yang shalat di kendaraan boleh tidak menghadap kiblat jika tidak bisa shalat sambil menghadap kiblat. Tapi shalatnya menghadap searah dengan kendaraanya atau ke arah mana saja yang mudah baginya.
“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bepergian, beliau biasa melakukan shalat sunah di atas hewan tunggangannya…dan menghadap ke arah hewan tersebut menghadap [ke timur atau ke barat].” (HR. Bukhari)

d. Orang yang sedang dalam perjalanan, dianjurkan untuk memperbanyak shalat sunah di atas kendaraan. Hal ini sebagaimana yang dipraktekkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana ketika beliau dalam perjalanan, beliau sering melakukan shalat sunnah di atas kendaraan (tunggangannya).


Kesalahan-kesalahan terkait menghadap kiblat
a. Shalat tidak menghadap kiblat, tetapi menghadap kuburan wali. Sebagaimana perbuatan sebagian orang sufi.
b. Serong ke utara beberapa derajat. Kesalahan ini menyebabkan shaf shalat jamaah tidak bisa lurus. Karena ada jamaah yang serong dan ada yang tidak. Akibatnya shaf shalat berantakan.
c. Terlalu memaksakan diri untuk tepat menghadap Ka’bah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk tepat persis ke arah Ka’bah, sebagaimana penjelasan di atas. Kesalahan ini menyebabkan shaf-shaf di sebagian masjid diserongkan ke utara sehingga menjadi tidak teratur. Bisa jadi mungkin ada yang membongkar masjid dan dihadapkan tepat ke arah Ka’bah.
Ini semua merupakan bentuk pemaksaan diri yang terlarang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semoga binasa orang yang memaksa-maksakan diri.” Beliau mengulanginya sebanyak tiga kali (HR. Muslim). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Wahai manusia, jauhilah sikap berlebih-lebihan (ghuluw) dalam beragama. Karena sikap ini telah membinasakan umat-umat sebelum kalian.” (HR. Nasa’i & disahihkan Syaikh Salim)



Disusun oleh Ustadz Ammi Nur Baits
src  punya-magna_@ariswahyu37

Sahkah Wudhu Orang Yang Memakai Minyak Rambut?

| komentar


Pertanyaan:
Jika seorang memakai minyak rambut di kepalanya lalu ia mengusap rambutnya dalam wudhu, apakah wudhunya itu sah atau tidak?

Jawaban:
Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya ingin menerangkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam kitab-Nya,

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (Al-Maidah: 6)

Di sini terkandung perintah untuk membasuh anggota wudhu dan mengusap bagian yang harus disapu serta mengharuskan untuk menghilangkan sesuatu yang menghalangi mengalirnya air pada anggota wudhu. karena jika terdapat sesuatu yang dapat menghalangi mengalirnya air pada anggota wudhu, berarti orang itu belum membasuh atau mengusap bagian itu.

Berdasarkan hal ini kami katakan, jika seseorang menggunakan minyak pada anggota wudhunya, misalnya minyak itu akan menjadi beku hingga menjadi suatu benda padat, maka pada saat itu wajib baginya untuk menghilangkan benda padat itu sebelum ia membersihkan anggota wudhunya. Sebab jika minyak itu telah berubah menjadi benda padat maka hal itu akan menghalangi air untuk sampai pada kulit anggota wudhu, dan pada saat itulah wudhunya dianggap tidak sah. Sedangkan jika minyak itu tidak berubah menjadi benda padat, sementara bekasnya masih tetap ada pada anggota wudhu, maka hal ini tidak membatalkan wudhu. Akan tetapi dalam keadaan seperti ini hendaknya seseorang menguatkan tekanan telapak tangannya saat membasuh atau mengusap anggota wudhu tersebut. Karena umumnya minyak itu bisa mengalihkan aliran air, bahkan bisa jadi bagian anggota wudhu tidak terkena air jika tidak ditekankan saat membasuh atau mengusapnya


src  punya-magna_@ariswahyu37

Beberapa Kesalahan Dalam Berwudhu

Sabtu, 15 Desember 2012 | komentar


1. Melafadzkan niat di awal berwudhu.
Hal ini tidak diperbolehkan, karena niat tempatnya adalah di hati sedangkan melafadzkan niat tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan suri tauladan kita -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Niat yang syar’iy adalah munculnya di dalam hati orang yang berwudhu bahwa ini wudhu untuk sholat, atau untuk menyentuh mushaf, atau untuk mengangkat hadats, atau yang semisalnya, inilah niat. Dan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- menganjurkan untuk memulai ibadah wudhu dengan bacaan basamalah bukan dengan ucapan lainnya, maka memulai wudhu dengan mengeraskan bacaan niat merupakan penyelisihan terhadap tuntunan dan perintah beliau.

2. Tidak punya perhatian terhadap cara wudhu dan mandi (junub) yang syar’i, bergampangan dalam bersuci, dan tidak punya perhatian untuk mempelajari hukum-hukum seputar thoharoh (bersuci).
Ini termasuk perkara yang seharusnya dijauhi oleh seorang muslim, karena sesungguhnya, thoharoh, berwudhu, dan mandi (junub) merupakan syarat syahnya sholat bagi orang yang berhadats, dan barangsiapa yang bergampangan terhadapnya maka sholatnya tidak syah karena dia melalaikan kewajiban dan syarat (dari bersuci).

Dan sungguh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- telah bersabda kepada sahabat Laqith bin Saburoh:
“Sempurnakanlah wudhu”. Riwayat Ashhabus Sunan dan dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah.

Dan dalam Ash-Shohihain (Kedua kitab Ash-Shohih) :
“Celakalah bagi tumit-tumit dari api Neraka”.

Hal ini karena tumit adalah tempat yang kadang terlupakan (untuk dicuci), maka hadits ini menunjukkan bahwa selain tumit sama hukumnya dengan tumit. Karenanya, wajib untuk menyempurnakan wudhu terhadap seluruh anggota-anggota wudhu dengan cara mencuci semuanya dengan air, kecuali kepala karena kepala sudah teranggap syah jika mengusap sebagian besar darinya, yaitu mengusap sebagian besar dari kepala bersama kedua telinga, karena kedua telinga termasuk bagian dari kepala sebagaimana yang tsabit dari beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
“Kedua telinga adalah bagian dari kepala”.

Maka hendaknya seorang muslim mempelajari hukum-hukum berwudhu dan hendaknya dia berwudhu dengan sempurna dengan mencucinya sebanyak tiga kali dalam rangka mencontoh Nabinya Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan agar dia mendapatkan keutamaan sholat. Imam An-Nasa`i dan Ibnu Majah telah meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shohih dari ‘Utsman -radhiallahu ‘anhu- dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda:
“Barangsiapa yang menyempurnakan wudhu sebagaiman yang Allah perintahkan, maka sholat-sholat wajib (yang lima) adalah penghapus dosa (yang terjadi) di antaranya”.

Dan hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan menyempurnakan wudhu dan bahwa dia menghapuskan dosa-dosa sangatlah banyak.


3. Perasaan was-was dan ragu-ragu dalam berwudhu dengan cara menambah jumlah cucian melebihi tiga kali.
Ini adalah was-was dari setan, karena Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak pernah menambah cucian dalam wudhu lebih dari tiga kali, sebagaimana yang tsabit dalam Shohih Al-Bukhary bahwa [Nabi -Shallallahu 'alaihi wasallam- berwudhu tiga kali-tiga kali]. Maka yang wajib atas seorang muslim adalah membuang semua was-was dan keragu-raguan (yang muncul) setelah selesainya wudhu dan jangan dia menambah lebih dari tiga kali cucian untuk menolak was-was yang merupakan salah satu dari tipuan setan.

4. Boros dalam penggunaan air.
Ini adalah terlarang berdasarkan keumuman firman Allah -Ta’ala-:
“Dan janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (QS. Al-An’am: 141 dan Al-A’raf: 31)

Dan semakna dengan keumuman ini adalah hadits Sa’ad tatkala Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melewati beliau ketika beliau (Sa’ad) sedang berwudhu, maka beliau bersabda kepadanya:
“Janganlah kalian boros dalam (penggunaan) air”, maka beliau (Sa’ad) berkata, “Apakah dalam (masalah) air ada pemborosan?”, beliau bersabda, “Iya, walaupun kamu berada di sungai yang banyak airnya”. Riwayat Ahmad.

5. Menyebut nama Allah di dalam WC atau masuk ke dalamnya dengan membawa sesuatu yang di dalamnya terdapat dzikir kepada Allah.
Ini adalah hal yang makruh maka sepantasnya bagi seorang muslim untuk menjauhinya. Dari Ibnu ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma- beliau berkata:
“Ada seorang lelaki yang berlalu sementara Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sedang kencing. Maka orang itu pun mengucapkan salam tapi Nabi tidak membalas salamnya”. Riwayat Muslim.

Hal ini karena menjawab salam adalah termasuk dzikir.

6. Mengusap kepala lebih dari satu kali.
Ini bertentangan dengan petunjuk Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- karena beliau selalu mengusap kepalanya hanya satu kali, sebagaimana yang tsabit dalam hadits ‘Ali -radhiallahu ‘anhu- tentang sifat wudhu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, beliau berkata:
“Beliau mengusap kepalanya satu kali”. Riwayat At-Tirmidzy dan An-Nasa`i dengan sanad yang shohih. Imam Abu Daud berkata, “Hadits-hadits yang shohih dari ‘Utsman seluruhnya menunjukkan bahwa pengusapan kepala hanya satu kali”.

7. Mengusap tengkuk (leher bagian belakang).
Ini termasuk dari sejumlah kesalahan bahkan sebagian ulama menganggapnya sebagai bid’ah karena tidak adanya satupun hadits yang tsabit dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, yang ada hanya diriwayatkan dalam hadits-hadits yang palsu dan mungkar. Sebagian ulama ada yang menyebutkan (disyari’atkannya) mengusap tengkuk akan tetapi dia tidak mengetahui bahwa haditsnya tidak shohih, karenanya tidak disyari’atkan untuk mengusapnya, dan wajib untuk mengingatkan hal ini sebagai bentuk penjagaan terhadap syari’at dari penambahan.

8. Mengusap bagian bawah dari khuf (sepatu) dan jaurab (kaus kaki) ketika mengusap di atas khuf.
Ini merupakan kesalahan dan kejahilan karena Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengusap bagian atas khuf, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, dan At-Tirmidzy dari Al-Mughirah bin Syu’bah beliau berkata:
“Saya melihat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengusap bagian atas kedua khufnya”.

Dan Imam Abu Daud juga meriwayatkan dari ‘Ali -radhiyallahu ‘anhu-, beliau berkata:
“Seandainya agama itu dengan akal, niscaya bagian bawah khuf yang lebih pantas daripada bagian atasnya. Sungguh saya telah melihat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengusap bagian atas kedua khuf beliau”.

9. Beristinja` (mencuci dubur) dari buang angin (kentut).
Tidak ada istinja` ketika kentut, istinja` hanya pada kencing dan buang air besar, maka tidak disyari’atkan bagi orang yang kentut untuk beristinja` sebelum berwudhu sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang, karena dalil-dalil syari’at tidak ada yang menjelaskan akan istinja` dari kentut, yang ada hanyalah penjelasan bahwa kentut adalah hadats yang mengharuskan wudhu, dan segala puji hanya milik Allah atas kemudahan dari-Nya. Imam Ahmad -rahimahullah- berkata, “Tidak terdapat dalam Al-Kitab, tidak pula dalam sunnah Rasul-Nya adanya istinja` dalam kentut, yang ada hanyalah wudhu”.

[Al-Minzhar fi Bayan Al-Akhtha` Asy-Syai'ah karya Asy-Syaikh Saleh bin Abdil Aziz Alu Asy-Syaikh]

Sumber: http://al-atsariyyah.com/kesalahan-kesalahan-dalam-thaharah.html
 
ADAKAH YANG SALAH DALAM WUDHU KITA? 
Sebagaimana telah diketahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mewajibkan shalat kepada kita setiap sehari. Dan shalat-shalat ini, setiap manusia berbeda-beda dalam menunaikannya sesuai dengan kondisinya, maka di antara mereka ada yang baik dalam menunaikannya dan ada yang buruk. Oleh sebab itu, wajib bagi setiap muslim untuk bersungguh-sungguh dalam menunaikannya semaksimal mungkin, supaya sempurna amalannya, dan penuh pahalanya. Sebelum itu semua, hendaknya dia bersungguh-sungguh supaya amalannya ikhlash untuk mendapatkan wajah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan supaya dia termasuk golongan orang yang bertaqwa. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menerima amalan kecuali dari orang yang bertaqwa. Dan setelah itu, maka bisa dikatakan bahwa salah satu sebab berkurangnya pahala shalat adalah apa yang terjadi pada sebagian orang yang shalat berupa perkara-perkara yang menyelisihi shalat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, yang beliau telah bersabda:


{ صلوا كما رأيتموني أصلي }[رواه البخاري].
”Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” (HR. Al-Bukhari)

Dan demikian juga apa yang terjadi dari sebagian mereka berupa kesalahan dan kekurangan dalam wudhu, dan tidak membasuskannya, padahal Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
{ من توضأ كما أُمر وصلَّى كما أُمر غُفر له ما قدم من عمل}[رواه أحمد والنسائي].
”Barang siapa yang berwudhu sepertu apa yang diperintahkan, dan shalat seperti yang diperintahkan, diampuni dosanya yang telah lalu.”(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, an-Nasaai)

Dan yang terakhir wahai saudaraku muslim, aku persembahkan kepada anda seklian sebagian kesalahan-kesalahan orang dalam thaharah (bersuci) mereka, supaya anda semua menjauhinya dan menasehati orang-orang yang terjerumus ke dalamnya supaya meninggalkannya dan agar dia meraih pahalanya.

( من دل على خير فله مثل أجر فاعله )
”Barang siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengamalkanya.”

Kesalahan dalam wudhu
1. Menjaharkan (mengeraskan) bacaan niat ketika berwudhu, dan ini menyelisihi sunnah (petunjuk) Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:”Tidak pernah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di awal wudhunya mengucapkan: ’Nawaitu Raf’al Hadatsi’ tidak pula:’(Nawaitu) Istibahaatas Shalati’ dan juga tidak seorang pun di antara Shahabat Nabi, dan juga tidak datang keterangan tentang hal itu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, satu huruf pun (hadits), tidak dengan sanad shahih maupun dhaif.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ”Melafazhkan (mengucapkan) niat adalah kekurangan dalam akal dan agama…. Adapun kekurangan dalam agama adalah, karena hal itu bid’ah…. adapun secara akal, karena hal itu seperti halnya orang yang akan makan, lalu dia berkata: ”Aku berniat meletakkan tangannku di piring ini, aku ingin mengambil darinya satu suapan dan aku akan meletakannya di mulutku, lalu aku kunyah kemudian aku telan supaya aku kenyang. Tentunya hal seperti ini adalah sebuah kedunguan dan kebodohan."


2. Berdoa ketika membasuh anggota wudhu, seperti perkataan sebagian orang ketika membasuh tangan kanannya: ”Allahumma A’thinii Kitaabii bi Yamiinii (Ya Allah berikanlah kepadaku catatan amalku pada hari kiamat dengan tangan kanan)”. Dan ketika membasuh wajahnya berkata: ”Allahumma Bayyidh Wajhii Yauma Tabyadhdhu Wujuh (Ya Allah putihkanlah (bersinar dan cerah) wajahku pada hari di mana wajah-wajah menjadi putih)” sampai akhir, mereka berdalil dengan hadits dari Anas radhiyallahu 'anhu, di dalamnya disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ”Wahai Anas, mendekatlah kepadaku, aku akan mengajarimu batasan-batasan wudhu, maka aku mendekat kepada beliau. Maka ketika beliau mencuci tangannya beliau membaca:
بسم الله والحمد لله ولا حول ولا قوة إلا بالله
Bismillah wal hamdulillah wala haula wala quwata illa billah.”

Imam Nawawi rahimahullah berkata: ”Ini adalah doa yang tidak ada asal-usulnya.” 
Imam Ibnu Shalah rahimahullah berkata: ”Tidak shahih hadits dalam masalah ini. 
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: ”Tidak dinukil dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau mengucapkan sesuatu dalam wudhunya selain bismillah… dan setiap hadits tentang dzikir (bacaan-bacaan) ketika wudhu maka itu adalah dusta dan sesuatu yang mengada-ada yang tidak pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan juga beliau tidak pernah mengajarkannya kepada ummatnya. Dan tidak tsabit dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam selain bacaan bismillah di awal wudhu dan doa di bawah ini di akhir wudhu:

( أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له .. وأشهد أن محمداً عبده ورسوله ..اللهم اجعلني من التوابين واجعلني من المتطهرين )
Anggota-anggota Lajnah Daimah berkata: ”Tidak tsabit dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bacaan-bacaan doa yang dibaca ketika wudhu, dan apa yang dibaca oleh orang-orang pada umumnya dari bacaan-bacaan ketika wudhu maka hal itu adalah bid’ah.

3. Boros dalam menggunakan air. Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan sebuah hadits dari Anas radhiyallahu 'anhu berkata:
كان النبي صلى الله عليه وسلم يغسل - أو كان يغتسل - بالصاع إلى خمسة أمداد ويتوضأ بالمد.
”Dahulu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mandi dengan satu sha' (empat mud) sampai 5 mud, dan berwudhu dengan satu mud (satu mud: dua genggam telapak tangan )”

Imam al-Bukhari rahimahullah berkata di awal Kitab Wudhu dalam kitab Shahihnya: ”Para ulama memakruhkan (membenci) perbuatan boros dalam berwudhu dan melebihi perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.”

dan termasuk sikap boros adalah membuka kran besar-besar ketika berwudhu, membasuh anggota wudhu lebih dari tiga kali dan lain-lain.

4. Tidak sempurna dalam membasuh anggota wudhu dan mengakibatkan ada sebagian anggota wudhu yang tidak terbasuh oleh air. Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Shahihnya 
Dari Muhammad bin Ziyad, dia berkata:’Aku mendengar Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu -saat itu beliau melewati kami, dan orang-orang sedang berwudhu-: ”Sempurnakanlah wudhu kalian, sesungguhnya Abul Qosim (Rasulullah) shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

" ويل للأعقاب من النار ".
”Celakalah tumit-tumit (yang tidak terbasuh air ketika berwudhu) dari api neraka.”

Dan dari Khalid bin Mi’dan dari sebagian istri-istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم رأى رجلا يصلي وفي ظهر قدمه لمعه قدر الدرهم لم يصبها الماء فأمره رسول الله صلى الله عليه وسلم " أن يعيد الوضوء ". رواه احمد وأبوداود وزاد " والصلاه ". قال الشوكاني رحمه الله تغالى: والحديث يدل على وجوب إعادة الوضوء من أوله على من ترك من غسل أعضائه مثل ذلك المقدار.
”Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melihat seorang laki-laki yang shalat sedangkan di punggung kakinya terdapat bagian mengkilap karena tidak terbasuh oleh air wudhu seukuran uang dirham (uang logam), maka Nabi menyuruhnya untuk mengulang wudhunya.” (HR. Imam Ahmad dan Abu Dawud menambahkan:” dan (mengulang) shalat”)

Al-Atsram berkata: ”Aku bertanya kepada imam Ahmad: ’hadits ini sandanya jayyid (bagus)?’ Beliau menjawab: ’jayyid.’


Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata tentang hadits ini: ”Hadits ini menunjukkan wajibnya mengulang wudhu dari awal, bagi orang yang yang meninggalkan membasuh anggota wudhunya sekalipun sekecil apa yang disebutkan dalam hadits.”


5. Melakukan tayamum padahal ada air dan dia mampu menggunakannya. Ini adalah kesalahan yang sangat jelas, Allah berfirman:
فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً )[النساء:43
”Lalu kalian tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang suci. (QS. an-Nisaa’: 43)

Maka ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa tayamum tidak diperbolehkan kalau ada air dan dia mampu menggunakannya.

6. Sebagian orang tertidur di masjid, kemudian apabila iqamat dikumandangkan dia dibangunkan oleh orang di sebelahnya lalu langsung bangkit shalat tanpa berwudhu lagi. Orang yang seperti ini wajib baginya untuk berwudhu, karena dia lelap dalam tidurnya. Adapun kalau dia sekedar mengantuk dan tidur ringan sehingga masih mengetahui siapa yang ada di sekitarnya, maka tidak wajib baginya untuk berwudhu lagi.

7. Keyakinan sebagian orang bahwa wudhu tidak sempurna kecuali jika dilakukan tiga kali tiga kali, maksudnya membasuh masing-masing anggota wudhu tiga kali. Ini adalah keyakinan yang salah. Imam al-Bukhari berkata di dalam kitabnya: ’Bab wudhu sekali sekali’ kemudian membawakan hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu'anhuma
توضأ النبي صلى الله عليه وسلم مره مره.
”Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berwudhu sekali sekali.”

Lalu berkata lagi: ’Bab wudhu dua kali dua kali’, kemudian membawakan hadits dari ‘Abdullah bin Yazid radhiyallahu 'anhu:
إن النبي صلى الله عليه وسلم توضأ مرتين مرتين.
”Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berwudhu dua kali dua kali.”

Beliau juga berkata: ’Bab wudhu tiga kali tiga kali’, kemudian beliau membawakan hadits ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu:
أن النبي صلى الله عليه وسلم توضأثلاثا ثلاثا.
”Sesunguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berwudhu tiga kali tiga kali.”

Maka hadits-hadits di atas menunjukkan bolehnya berwudhu dengan basuhan sekali sekali, dua kali dua kali, dan tiga kali tiga kali.

8. Keyakinan sebagian orang bahwasanya wajib untuk membasuh/mencuci kemaluan sebelum berwudhu. Ini adalah keyakinan yang keliru, maka barang siapa yang bangun dari tidur, atau keluar angin, maka tidak wajib baginya untuk membasuh kemaluannya kecuali jika ingin membuang hajat (air kecil atau air besar), maka wajib baginya untuk beristinja (cebok) dari air kencing supaya tidak tersisa sisa-sisa tetesan air kencing di saluran kencingnya yang akhirnya menetes di celananya.

9. Membasuh leher ketika berwudhu. Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: ”Tidak shahih satu pun hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang membasuh leher ketika berwudhu. (Zaadul Ma’ad 1/195)

10. Meninggalkan istinsyaq dan istintsar. Istinsyaq adalah menghirup air lewat hidung sampai ke pangkal hidung, dan Istintsar adalah mengeluarkannya (air yang dihirup tadi) dari hidung. Sebagian kaum muslimin ketika bewudhu hanya memasukan jarinya yang basah ke dalam hidung. Dalil tentang Istinsyaq dan istintsar adalah hadits yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari:

Dari Humran, (beliau menyifati wudhu Utsman radhiyallahu 'anhu)…. . Kemudian ia memasukkan tangan kanannya di bejana, lalu ia berkumur, menghirup air ke hidung [dan mengeluarkannya, l/49].


Dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ”Barangsiapa berwudhu, hendaklah ia menghirup air ke hidung (dan mengembuskannya kembali); dan barangsiapa yang melakukan istijmar (bersuci dari buang air besar dengan batu), hendaklah melakukannya dengan ganjil (tidak genap).”

11. Melebihi tiga kali dalam membasuh anggota wudhu. Hal ini terjadi pada sebagian kaum muslimin, dan mereka meyakini bahwa semakin banyak dalam membasuh anggot wudhu maka pahalanya akan semakin banyak dan besar. Dan ini adalah was-was dan tipu daya dari Syaithan, karena suatu amalan apabila tidak disyariatkan maka amalan tersebut tertolak sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
"من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد".(متفق عليه ) ولمسلم روايه أخرى بلفظ :"من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد"
”Barang siapa yang membuat perkara baru dalam agama kami, sesuatu yang bukan bagian darinya maka dia tertolak.” (Mutafaq ‘alaihi) dan dalam riwayat Muslim:”Barang siapa yang melakukan amalan yang tidak di atas perintah kami maka tertolak.”


(Sumber: http://www.kalemat.org/sections.php?so=va&aid=27. Oleh Abu Yusuf Sujono)
 Sumber: http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihathadits&id=214

Kesalahan-Kesalahan Dalam Shalat Jum’at

| komentar


MENGULUR WAKTU DATANG KE MASJID SEHINGGA KHATIB NAIK MIMBAR
Di antara kaum muslimin ada yang berlambat-lambat ketika mendatangi shalat Jum’at sehingga khatib naik mimbar. Padahal dengan demikian itu mereka telah kehilangan banyak kebaikan serta pahala yang melimpah.

Di dalam ash-Shahiihain (Shahiih al-Bukhari dan Shahiih Muslim) disebutkan, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda

“Barangsiapa mandi pada hari Jum’at seperti mandi junub kemudian dia berangkat ke masjid, maka seakan-akan dia berkurban dengan unta. Barangsiapa berangkat pada waktu kedua, maka seakan-akan dia berkurban dengan sapi. Barangsiapa berangkat pada waktu ketiga, maka seakan-akan dia berkurban dengan kambing yang bertanduk. Barangsiapa berangkat pada waktu keempat, maka seakan-akan dia berkurban dengan ayam. Dan barangsiapa berangkat pada waktu kelima, maka seakan-akan dia berkurban dengan telur. Jika imam (khatib) telah datang, maka Malaikat akan hadir untuk mendengarkan Khutbah.”

Maksudnya, para Malaikat itu menutup lembaran catatan pahala bagi mereka yang terlambat sehingga tidak mendapatkan pahala yang lebih bagi orang-orang yang masuk masjid (di saat khatib sudah naik mimbar). Pengertian tersebut diperkuat oleh hadits berikut ini:

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani. Dari Abu Ghalib, dari Abu Umamah, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Pada hari Jum’at para Malaikat duduk di pintu-pintu masjid yang bersama mereka lembaran-lembaran catatan. Mereka mencatat orang-orang (yang datang untuk shalat), di mana jika imam (khatib) telah datang menuju ke mimbar, maka lembaran-lembaran catatan itu akan ditutup.” 
Lalu kutanyakan, “Hai Abu Umamah, kalau begitu bukankah orang yang datang setelah naiknya khatib ke mimbar berarti tidak ada Jum’at baginya?” Dia menjawab, “Benar, tetapi bukan bagi orang yang telah dicatat di dalam lembaran-lembaran catatan.”


TIDAK MANDI, TIDAK PULA MEMAKAI WANGI-WANGIAN, DAN TIDAK BERSIWAK PADA HARI JUM’AT 
Di antara jama’ah ada juga yang mengabaikan masalah mandi dan memakai wangi-wangian pada hari Jum’at. Padahal Islam menghendaki kaum muslimin supaya berkumpul pada hari Jum’at pada pertemuan mingguan dalam keadaan sesempurna mungkin, berpenampilan paling baik, serta memakai wangi-wangian yang paling wangi sehingga orang lain tidak terganggu oleh bau yang tidak sedap. Serta tidak juga mengganggu para Malaikat.

Di dalam kitab ash-Shahiihain disebutkan, dari Abu Bakar bin al-Munkadir, dia berkata, ‘Amr bin Sulaim al-Anshari pernah memberitahuku, dia berkata, Aku bersaksi atas Abu Sa’id yang mengatakan, Aku bersaksi bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

“Mandi pada hari Jum’at itu wajib bagi setiap orang yang sudah baligh. Dan hendaklah dia menyikat gigi serta memakai wewangian jika punya.”

Di dalam kitab Shahiih al-Bukhari juga disebutkan, dari Salman al-Farisi, dia berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

“Tidaklah seseorang mandi dan bersuci semampunya pada hari Jum’at, memakai minyak rambut atau memakai minyak wangi di rumahnya kemudian keluar lalu dia tidak memisahkan antara dua orang (dalam shaff) kemudian mengerjakan shalat dan selanjutnya dia diam (tidak berbicara) jika khatib berkhutbah, melainkan akan diberikan ampunan kepadanya (atas kesalahan yang terjadi) antara Jum’atnya itu dengan Jum’at yang berikut-nya.”

TIDAK MAU MENEMPATI BARISAN (SHAFF) PERTAMA MESKI DATANG LEBIH AWAL 
Di antara jama’ah ada yang datang ke masjid lebih awal dan mendapati barisan pertama masih kosong, tetapi dia malah memilih untuk menempati barisan kedua atau ketiga agar bisa bersandar ke tiang misalnya, atau memilih barisan belakang sehingga dia bisa bersandar ke dinding misalnya. Semuanya itu bertentangan dengan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk segera menduduki barisan pertama yang didapatinya selama dia bisa sampai ke tempat tersebut, karena agungnya pahala yang ada padanya serta banyaknya keutamaan yang terkandung padanya. Dan seandainya dia tidak bisa sampai ke tempat itu kecuali dengan cara undian, maka hendaklah dia melakukan hal tersebut sehingga dia tidak kehilangan pahala yang melimpah itu.

Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Seandainya orang-orang itu mengetahui apa yang terdapat pada seruan adzan dan shaff pertama kemudian mereka tidak mendapatkan jalan, kecuali harus melakukan undian, niscaya mereka akan melakukannya.”

Dan dalam riwayat Muslim disebutkan:
“Seandainya kalian atau mereka mengetahui apa yang terdapat di shaff terdepan, niscaya akan dilakukan undian.”

Dengarlah keutamaan yang melimpah bagi orang yang bersuci dan bersegera mendatanginya. 
Telah diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, yang dinilai hasan oleh at-Tirmidzi serta dinilai shahih oleh al-Albani di dalam kitab Shahiih as-Sunan, dari Aus bin Aus Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa mandi pada hari Jum’at dan membersihkan diri, lalu cepat-cepat dan bergegas, serta berjalan kaki dan tidak menaiki kendaraan, juga mendekati posisi imam, kemudian mendengarkan lagi tidak lengah, maka baginya setiap langkah amalan satu tahun, dengan pahala puasa dan qiyamul lail yang ada pada tahun itu.”

Mengenai penafsiran kalimat, ghassala wa ightasala, para ulama memiliki dua pendapat:

  1. Membasahi kepala dan mandi, sebagai upaya membersihkan diri secara maksimal. Dan ini merupakan pendapat Ibnul Mubarak.
  2. Mencampuri isterinya sehingga dia harus membersihkan diri dan mandi. Dan inilah pendapat Waki’.
Mereka menyunnahkan seseorang mencampuri isterinya pada hari Jum’at karena dua alasan:
  1. Agar nafsu syahwatnya tersalurkan pada tempat yang halal sehingga dia berangkat menunaikan shalat Jum’at dan bisa menundukkan pandangan, mengonsentrasikan pikiran untuk mendengarkan khutbah dan mengambil pelajaran dari nasihat yang disampaikan.
  2. Mudah-mudahan dengan apa yang dilakukannya itu Allah akan memberikan berkah sehingga akan mengeluarkan dari tulang rusuknya anak-anak yang shalih, sehingga dengan demikian itu telah menanamkan benihnya pada hari yang penuh berkah, yaitu hari Jum’at. Di antara yang memperkuat makna itu adalah: “Barangsiapa mandi seperti mandi janabat pada hari Jum’at dan kemudian pergi berangkat…”
Bakkara wa ibtakara, ada yang mengatakan, Hal tersebut sebagai ta’kiid (penekanan) dan ada juga yang mengatakan: bakkara berarti berangkat pagi-pagi ke masjid. Ibtakara berarti mendengar khuthbah dari sejak awal.

Danaa min al-Imaam berarti menempati barisan-barisan pertama yang dekat dengan imam (khatib).

Fastama’a walam yalghu berarti mendengarkan khutbah dan tidak lengah darinya oleh aktivitas lainnya.


MELANGKAHI PUNDAK JAMA’AH YANG DATANG LEBIH AWAL PADA HARI JUM’AT 
Di antara kaum muslimin ada yang datang terlambat ke masjid, sehingga dia menyela jama’ah yang datang lebih awal dan duduk dengan melangkahi pundak mereka sehingga dia sampai ke barisan pertama. Dan ini jelas salah. Mestinya dia harus menempati tempat yang terakhir kali ia dapatkan.

Telah diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani, dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ada seseorang masuk masjid pada hari Jum’at sedang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah menyampaikan khutbah, lalu dia melangkahi orang-orang, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Duduklah, karena sesungguhnya engkau telah mengganggu (orang-orang) dan datang terlambat.”


ORANG YANG MASUK KE MASJID BERDIRI DAN MENUNGGU SAMPAI ADZAN SELESAI DIKUMANDANGKAN, BARU KEMUDIAN MENGERJAKAN SHALAT TAHIYYATUL MASJID 
Sebagian orang jika memasuki masjid sedang khathib sudah berada di atas mimbar dan muadzin masih mengumandangkan adzan maka dia akan tetap berdiri sambil menunggu adzan selesai. Dan ketika muadzin selesai mengumandangkan adzan dan khatib menyampaikan khutbah, baru dia mulai mengerjakan shalat Tahiyyatul Masjid. Ini merupakan tindakan yang salah. Mendengar adzan adalah sunnah, sementara mendengar khutbah adalah wajib, sehingga yang wajib harus diutamakan. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan mengabaikan yang wajib untuk menunaikan yang sunnah.

Dengan demikian, yang benar adalah memulai shalat Tahiyyatul Masjid langsung ketika sampai di masjid meskipun muadzin tengah mengumandangkan adzan agar dia bisa mendengar khutbah secara lengkap.

BERBICARA SAAT KHUTBAH TENGAH BERLANGSUNG
Di antara jama’ah ada juga yang berbincang dengan orang secara perlahan di sekitarnya saat khutbah tengah berlangsung. Dan ini jelas salah, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk diam guna mendengarkan khutbah Jum’ah dengan seksama.

Sebagaimana yang telah kami sampaikan sebelumnya, yaitu satu hadits yang diriwayatkan empat perawi dan dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dari Aus bin Aus Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

“Barangsiapa mandi pada hari Jum’at dan membersihkan diri, lalu cepat-cepat dan bergegas, serta berjalan kaki dan tidak menaiki kendaraan, juga mendekati posisi imam, kemudian mendengarkan lagi tidak lengah, maka baginya setiap langkah amalan satu tahun, dengan pahala puasa dan qiyamul lail yang ada pada tahun itu.”

Di dalam kitab ash-Shahiihain telah disebutkan dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jika engkau mengatakan kepada temanmu, ‘Diam,’ pada hari Jum’at dan imam sedang berkhutbah, berarti engkau telah berbuat sia-sia.”

Lalu apa hukuman bagi orang yang berbicara atau melangkahi pundak jama’ah? 
Hukumannya adalah tidak ditetapkan baginya pahala shalat Jum’at dan dia juga tidak akan mendapatkan keutamaannya, dan shalat Jum’at itu hanya akan menjadi shalat Zhuhur baginya.

Yang demikian itu didasarkan pada apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah yang dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

“Barangsiapa mandi pada hari Jum’at, lalu memakai minyak wangi isterinya jika dia punya, dan mengenakan pakaian yang bagus, lalu tidak melangkahi pundak orang-orang, serta tidak lengah saat diberi nasihat (khutbah), maka hal itu menjadi penghapus dosa (kecil) antara keduanya. Dan barangsiapa lengah dan melangkahi pundak orang-orang, maka shalat Jum’atnya itu menjadi shalat Zhuhur baginya. ”


JAMA’AH TIDUR SEMENTARA KHATIB TENGAH MENYAMPAIKAN KHUTBAHNYA 
Sebagian orang tertidur sementara khatib sudah berada di atas mimbar. Dan ini jelas salah dan dia harus dibangunkan untuk mendengarkan nasihat.

Ibnu Sirin mengatakan, “Mereka memakruhkan tidur ketika khatib khutbah. Dan mereka berkata tegas mengenai hal tersebut.”

Dan disunnahkan bagi orang yang dihinggapi rasa kantuk untuk pindah dari tempatnya ke tempat lain di masjid. Mengenai hal tersebut telah diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Hibban dengan sanad shahih dari ‘Abdullah bin ‘Umar, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

“Jika salah seorang di antara kalian mengantuk di tempat duduknya pada hari Jum’at, maka hendaklah dia pindah (bergeser) dari tempat itu ke tempat lainnya.”


BERSANDARNYA SEBAGIAN ORANG KE DINDING DAN TIDAK MENGHADAP KHATIB 
Ada sebagian orang yang dalam mendengarkan khutbah Jum’at lebih senang bersandar ke dinding atau tiang dan tidak menghadap ke arah khatib, bahkan mereka membelakanginya. Dan ini jelas bertentangan dengan petunjuk para Sahabat Nabi di dalam khutbah Jum’at dan juga bertolak belakang dengan etika mendengar khutbah.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan, “Jika berkhutbah Jum’at, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, sementara Sahabat-Sahabat beliau menghadapkan wajah mereka ke arah beliau.”

Dari Muthi’ al-Ghazal dari ayahnya dari kakeknya, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika sudah menaiki mimbar, maka kami pun menghadapkan wajah kami ke arah beliau.”

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam sudah berdiri tegak di atas mimbar, maka kami langsung menghadapkan wajah kami ke arah beliau.”

Dari Abban bin ‘Abdullah al-Bajali, dia berkata, Aku pernah melihat ‘Adi bin Tsabit menghadapkan wajahnya ke arah khatib jika khatib itu berdiri sambil berkhutbah. Lalu aku tanyakan kepadanya, “Aku lihat engkau menghadapkan wajahmu ke khatib?” Dia menjawab, “Karena aku pernah melihat para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal tersebut.”

Dari Nafi’, mantan budak Ibnu ‘Umar bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar mengerjakan shalat sunnah pada hari Jum’at hingga selesai sebelum khatib keluar, dan ketika khatib telah datang sebelum khatib itu duduk, dia (‘Abdullah bin ‘Umar) menghadapkan wajah ke arahnya. 

Imam Ibnu Syihab az-Zuhri rahimahullahu mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika menyampaikan khutbahnya, maka mereka langsung mengarahkan wajah mereka kepadanya sampai beliau selesai dari khutbahnya" 

Imam Yahya bin Sa’id al-Anshari rahimahullahu mengatakan, “Yang sunnah untuk dilakukan adalah jika khatib sudah duduk di atas mimbar pada hari Jum’at, maka hendaklah semua orang mengarahkan wajah ke arahnya.”

Al-Atsram mengatakan, aku pernah katakan kepada Abu ‘Abdullah, “Ketika khatib berada agak jauh di sebelah kananku, maka apakah jika aku ingin menghadap kepadanya, aku harus mengalihkan wajahku dari arah kiblat?” Dia menjawab, “Ya, arahkan wajahmu kepadanya.”

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Disunnahkan bagi orang-orang untuk menghadap ke arah khatib jika dia tengah berkhutbah. Dan itu merupakan pendapat Malik, at-Tsauri, al-Auza’i, asy-Syafi’i, Ishaq, dan Ashabur rayi.”

Ibnu Mundzir rahimahullahu mengatakan, “Hal itu bagaikan ijma’ (kesepakatan para ulama).”

At-Tirmidzi rahimahullahu mengatakan, “Pengamalan terhadap hal tersebut dilakukan oleh para ulama dari kalangan Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga yang lainnya mereka menyunnahkan untuk menghadap ke khatib jika dia tengah berkhutbah.”


MEMAINKAN BIJI TASBIH ATAU KUNCI SAAT KHUTBAH BERLANGSUNG 
Sebagian orang ada yang melakukan hal yang sia-sia baik dengan kunci-kunci atau biji tasbih yang ada di tangannya saat mendengar khutbah Jum’at. Ini jelas bertentangan dengan ketenangan dan perhatian terhadap peringatan dan nasihat yang disampaikan kepadanya.

Bahkan hal tersebut masuk ke dalam kelengahan yang dilarang untuk dilakukan. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahiihnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

“Barangsiapa yang memegang batu kerikil berarti dia telah berbuat sia-sia.”

Dan terkadang ada juga salah seorang dari mereka yang mengeluarkan kayu siwak dan bersiwak saat khutbah tengah berlangsung. Ini juga termasuk dalam kategori lengah (berbuat sia-sia).


MEMISAHKAN DUA ORANG YANG DUDUK BERDAMPINGAN PADA HARI JUM’AT
Terkadang ada orang yang datang terakhir ke masjid, lalu melangkahi pundak-pundak jama’ah yang datang lebih awal serta memisahkan duduk orang-orang agar dia bisa sampai di barisan pertama. Dan ini merupakan satu hal yang dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menurut Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani.

“Dari Jabir bin ‘Abdullah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ada seseorang masuk masjid pada hari Jum’at sedang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah menyampaikan khuthbah, lalu dia melangkahi orang-orang, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Duduklah, karena sesungguhnya engkau telah mengganggu (orang-orang) dan datang terlambat.”

Kemudian orang yang memisahkan di antara dua orang ini, yakni dengan melangkahi keduanya atau duduk di antara keduanya benar-benar telah kehilangan pahala yang besar, yaitu yang disebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, dari Salman al-Farisi Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at dan bersuci semampunya, memakai minyak rambut atau memakai minyak wangi rumahnya kemudian keluar lalu dia tidak memisahkan antara dua orang dan kemudian mengerjakan shalat sunnah dan selanjutnya dia diam (tidak berbicara) jika khatib berkhutbah, melainkan akan diberikan ampunan kepadanya (atas kesalahan yang terjadi) antara Jum’atnya itu dengan Jum’at yang berikutnya”.

Al-Hafizh rahimahullahu mengatakan, “Setelah dilakukan penghimpunan terhadap jalan-jalan dan lafazh-lafazh hadits, maka tampak sekumpulan dari apa yang kami sampaikan tadi bahwa penghapusan dosa dari hari Jum’at ke Jum’at berikutnya itu dengan syarat adanya semua hal berikut ini:

  1. Mandi dan membersihkan diri.
  2. Memakai minyak wangi atau minyak rambut.
  3. Memakai pakaian yang paling bagus.
  4. Berjalan kaki dengan penuh ketenangan.
  5. Tidak melangkahi pundak jama’ah yang datang lebih awal.
  6. Tidak memisahkan antara dua orang yang berdampingan.
  7. Tidak mengganggu.
  8. Mengerjakan amalan-amalan sunnah.
  9. Diam.
  10. Tidak melakukan aktivitas yang melengahkan”
Lebih lanjut, al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Di dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Amr disebutkan, ‘Oleh karena itu, barangsiapa melangkahi orang atau melakukan hal yang melengahkan, maka baginya shalat Jum’at itu hanya shalat Zhuhur semata"


TIDAK MEMISAHKAN ANTARA SHALAT JUM’AT DAN SHALAT SUNNAHNYA DENGAN PINDAH TEMPAT ATAU PEMBICARAAN 
Di antara kaum muslimin ada yang mengerjakan shalat Jum’at, kemudian berdiri dan langsung mengerjakan shalat sunnah Ba’diyah. Dan ini jelas salah.

Yang benar adalah pindah ke tempat lain untuk kemudian mengerjakan shalat sunnah atau minimal berbicara meski hanya dengan sedikit dzikir atau tasbih atau yang semisalnya untuk menyempurnakan pemisahan antara shalat Jum’at dengan shalat sunnahnya.

Yang menjadi dalil bagi hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shahiihnya dari ‘Umar bin ‘Atha’ bin Abil Khuwar:

“Bahwa Nafi’ bin Jubair pernah mengutusnya menemui as-Saib, anak dari saudara perempuan Namr untuk menanyakan kepadanya tentang sesuatu yang dilihatnya dari Mu’awiyah dalam shalat, maka dia menjawab, ‘Ya, aku pernah mengerjakan shalat Jum’at bersamanya di dalam maqshurah. Setelah imam mengucapkan salam, aku langsung berdiri di tempatku semula untuk kemudian mengerjakan shalat, sehingga ketika dia masuk, dia mengutus seseorang kepadaku seraya berkata, ‘Janganlah engkau mengulangi perbuatan itu lagi. Jika engkau telah mengerjakan shalat Jum’at, maka janganlah engkau menyambungnya dengan suatu shalat sehingga engkau berbicara atau keluar (dari tempatmu), karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan hal tersebut kepada kita, yaitu tidak menyambung shalat sehingga kita berbicara atau keluar.’”

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalamnya terdapat dalil atas apa yang dikemukakan oleh rekan-rekan kami  bahwa shalat-shalat nafilah rawatib dan juga yang lainnya disunnahkan untuk berpindah dari tempat pelaksanaan shalat fardhu ke tempat lain.

Tetapi perlu saya kemukakan, shalat nafilah (sunnah) di rumah lebih afdhal (utama) dengan beberapa dalil berikut:

  • Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin ‘Abdullah Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian selesai menunaikan shalat di masjid, maka hendaklah dia memberikan bagian untuk rumah tersebut di dalam shalatnya, karena sesungguhnya Allah memberikan kebaikan di dalam rumahnya dari shalatnya itu.”
  • Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kerjakanlah sebagian dari shalat kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian menjadikannya laksana kuburan.” [5] An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Artinya, shalatlah di rumah kalian dan janganlah engkau menjadikan tempat tinggal kalian itu seperti kuburan yang tidak pernah ditempati untuk shalat. Dan yang dimaksudkan di sini adalah shalat sunnah. Dengan kata lain: kerjakanlah shalat sunnah di rumah kalian.”
  • Diriwayatkan oleh asy-Syaikhan (al-Bukhari dan Muslim) dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaklah kalian mengerjakan shalat di rumah kalian, karena sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya, kecuali shalat wajib.”

MENINGGALKAN SHALAWAT ATAS NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM PADA HARI JUM’AT 
Sebagian orang ada yang lalai untuk bershalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Jum’at, meskipun keutamaannya sangat besar, pahalanya pun begitu melimpah, khususnya pada hari Jum’at.

Telah diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim, yang dinilai shahih olehnya serta disetujui oleh adz-Dzahabi dan al-Albani.

Dari Aus bin Aus Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya sebaik-baik hari-hari kalian adalah hari Jum’at, karenanya perbanyak shalawat atas diriku pada hari tersebut, karena shalawat kalian akan diperlihatkan kepadaku.” Lalu para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana shalawat kami akan diperlihatkan kepadamu sedang engkau telah hancur lebur?” Dia berkata, dia mengatakan, “Telah rusak berserakan.” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan tanah dari memakan jasad-jasad para Nabi.”

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang hasan. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidaklah seseorang memberikan salam (shalawat) kepadaku melainkan Allah akan mengembalikan ruhku sehingga aku bisa menjawab salam (shalawat) padanya.”

Dan shighah (bentuk) shalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling baik adalah yang ditetapkan di dalam kitab ash-Shahiihain, sebagai berikut: Dari Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu ‘anhu, ditanyakan, “Wahai Rasulullah, mengenai salam kepadamu, maka kami telah mengetahuinya, tetapi bagaimana kami harus bershalawat kepadamu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Ucapkanlah, ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah bershalawat atas Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahamulia. Ya Allah, berikanlah berkah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah berikan berkah kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahamulia.”


TIDAK MENGERJAKAN SHALAT TAHIYYATUL MASJID KETIKA KHATIB TENGAH MENYAMPAIKAN KHUTBAH 
Di antara kaum muslimin ada yang selalu me-ngerjakan shalat Tahiyyatul Masjid, karena dia mengetahui bahwa shalat tersebut adalah sunnah muakadah (yang ditekankan).

Yang demikian itu didasarkan pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah duduk sehingga mengerjakan shalat dua rakaat.”

Tetapi, jika dia masuk masjid ketika khatib sedang menyampaikan khutbah maka dia langsung duduk dan tidak mengerjakan shalat Tahiyyatul Masjid. Dan jika ditanyakan kepadanya mengenai alasan tindakannya itu maka dia menjawab, karena aku pernah mendengar satu hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang di dalamnya beliau bersabda, “Jika seorang khatib telah menaiki mimbar, maka tidak ada shalat dan pembicaraan.” 

Maka dapat kami katakan bahwa hadits ini dha’if jiddan (lemah sekali) yang tidak bisa dijadikan sebagai dalil pijakan. Telah diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam kitab al-Kabiir dan di dalam sanadnya terdapat Ayyub bin Nuhaik, dia munkarul hadits. Oleh karena itu, hadits ini dinilai dha’if oleh al-Haitsami di dalam kitab Maj-ma’uz Zawaa-id (II/184) dan juga al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitab Fat-hul Baari (II/409).

Sementara itu, al-Albani di dalam kitab, Sil-silah al-Ahaadiits adh-Dha’iifah (no. 87) mengatakan, “Hadits ini bathil.” 

Bahkan telah ditegaskan perintah untuk mengerjakan shalat dua rakaat tersebut bagi orang yang datang ketika khatib sedang menyampaikan khutbahnya. Di dalam kitab ash-Shahiihain disebutkan: Dari Jabir bin ‘Abdullah, dia berkata, Ada seseorang datang ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah menyampaikan khutbah kepada jama’ah pada hari Jum’at, lalu beliau bertanya:

“Apakah kamu sudah mengerjakan shalat (Tahiyyatul Masjid), hai fulan? “Belum,” jawabnya. Maka beliau bersabda: “Berdiri dan kerjakanlah shalat dua rakaat.”

Dalam riwayat Muslim disebutkan dari Jabir bin ‘Abdullah, dia berkata, Sulaik al-Ghathafani pernah datang ke masjid pada hari Jum’at sedang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah memberi khutbah lalu dia langsung duduk, maka beliau berkata kepadanya, “Wahai Sulaik, berdiri dan kerjakanlah shalat dua rakaat dan perpendeklah dalam mengerjakan shalat tersebut.” Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian datang (ke masjid) pada hari Jum’at sedang imam tengah berkhutbah, maka hendaklah dia mengerjakan shalat 2 rakaat dan perpendeklah shalat tersebut.”

[Disalin dari kitab kitab al-Kali-maatun Naafi’ah fil Akhthaa' asy-Syaai’ah, Bab “75 Khathaan fii Shalaatil Jumu’ah.” Edisi Indonesia 75 Kesalahan Seputar Hari dan Shalat Jum’at, Karya Wahid bin ‘Abdis Salam Baali. Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]



src  punya-magna­­_@ariswahyu37

Random Post (silahkan pilih)

 
Support : Home | Daftar Isi | My University
Copyright © 2010-2012. plagiarist - Blog Informasi -
Template Created by Imagine Published by Mas Template
Power On Blogger