Saat browsing mencari
bahan untuk mengerjakan tugas kuliah, secara tak sengaja menemukan sebuah
artikel yang ditulis oleh Rhenald Kasali,
Ketua Program UI pada Hari Pendidikan Nasional Mei yang lalu. Tertarik dengan
tulisan yang ada di http://blog.fitb.itb.ac.id tersebut, akhirnya saya muat di
blog saya ini. Tulisan Rhenald Kasali
tersebut tentang Dua Jenis Guru,
Berikut ini adalah tulisan dari Rhenald Kasali.
Ada dua jenis guru. Guru pertama adalah guru kognitif, sedangkan guru kedua adalah guru kreatif. Guru kognitif sangat berpengetahuan. Mereka hafal segala macam rumus, banyak bicara, banyak memberi nasihat, sayangnya sedikit sekali mendengarkan.
Sebaliknya, guru kreatif lebih banyak tersenyum, namun tangan dan badannya bergerak aktif. Setiap kali diajak bicara dia mulai dengan mendengarkan, dan saat menjelaskan sesuatu, dia selalu mencari alat peraga.Entah itu tutup pulpen, botol plastik air mineral,kertas lipat,lidi,atau apa saja. Lantaran jumlahnya hanya sedikit, guru kreatif jarang diberi kesempatan berbicara. Dia tenggelam di antara puluhan guru kognitif yang bicaranya selalu melebar ke mana-mana. Mungkin karena guru kognitif tahu banyak, sedangkan guru kreatif berbuatnya lebih banyak.
1. Guru Kognitif
Guru kognitif hanya mengajar dengan mulutnya. Dia berbicara panjang lebar di depan siswa dengan menggunakan alat tulis. Guru-guru ini biasanya sangat bangga dengan murid-murid yang mendapat nilai tinggi. Guru ini juga bangga kepada siswanya yang disiplin belajar, rambutnya dipotong rapi, bajunya dimasukkan ke dalam celana atau rok, dan hafal semua yang dia ajarkan. Bagi guru-guru kognitif, pusat pembelajaran ada di kepala manusia, yaitu brain memory. Asumsinya, semakin banyak yang diketahui seseorang, semakin pintarlah orang itu.
Dan semakin pintar akan membuat seseorang memiliki masa depan yang lebih baik. Guru kognitif adalah guru-guru yang sangat berdisiplin. Mereka sangat memegang aturan, atau meminjam istilah para birokrat (PNS), sangat patuh pada ”tupoksi”. Saya sering menyebut mereka sebagai guru kurikulum. Kalau di silabus tertulis buku yang diajarkan adalah buku ”x” dan bab-bab yang diberikan adalah bab satu sampai dua belas, mereka akan mengejarnya persis seperti itu sampai tuntas.
Karena ujian masuk perguruan tinggi adalah ujian rumus, guru-guru kognitif ini adalah kebanggaan bagi anak-anak yang lolos masuk di kampus-kampus favorit. Kalau sekarang, mereka adalah kebanggaan bagi siswa-siswa peserta UN. Sayangnya, sekarang banyak ditemukan anak-anak yang cerdas secara kognitif sulit menemukan ”pintu” bagi masa depannya. Anak-anak ini tidak terlatih menembus barikade masa depan yang penuh rintangan, lebih dinamis ketimbang di masa lalu, kaya dengan persaingan, dan tahan banting.
Saya sering menyebut anak-anak produk guru kognitif ini ibarat kereta api Jabodetabek yang hanya berjalan lebih cepat daripada kendaraan lain karena jalannya diproteksi, bebas rintangan. Beda benar dengan kereta supercepat Shinkanzen yang memang cepat. Yang satu hanya menaruh lokomotif di kepalanya, sedangkan yang satunya lagi, selain di kepala, lokomotif ada di atas seluruh roda besi dan relnya.
2. Guru Kreatif Ini guru yang sering kali dianggap aneh di belantara guru-guru kognitif. Sudah jumlahnya sedikit, mereka sering kali kurang peduli dengan tupoksi dan silabus. Mereka biasanya juga sangat toleran terhadap perbedaan dan cara berpakaian siswa. Tetapi, mereka sebenarnya guru yang bisa mempersiapkan masa depan anak-anak didiknya. Mereka bukan sibuk mengisi kepala anak-anaknya dengan rumus-rumus, melainkan membongkar anak-anak didik itu dari segala belenggu yang mengikat mereka.
Belenggu- belenggu itu bisa jadi ditanam oleh para guru, orang tua, dan tradisi seperti tampak jelas dalam membuat gambar (pemandangan, gunung dua buah, matahari di antara keduanya, awan, sawah, dan seterusnya). Atau belenggu-belenggu lain yang justru mengantarkan anak-anak pada perilaku-perilaku selfish, ego-centrism, merasa paling benar,sulit bergaul, mudah panik, mudah tersinggung, kurang berbagi, dan seterusnya.
Ada dua jenis guru. Guru pertama adalah guru kognitif, sedangkan guru kedua adalah guru kreatif. Guru kognitif sangat berpengetahuan. Mereka hafal segala macam rumus, banyak bicara, banyak memberi nasihat, sayangnya sedikit sekali mendengarkan.
Sebaliknya, guru kreatif lebih banyak tersenyum, namun tangan dan badannya bergerak aktif. Setiap kali diajak bicara dia mulai dengan mendengarkan, dan saat menjelaskan sesuatu, dia selalu mencari alat peraga.Entah itu tutup pulpen, botol plastik air mineral,kertas lipat,lidi,atau apa saja. Lantaran jumlahnya hanya sedikit, guru kreatif jarang diberi kesempatan berbicara. Dia tenggelam di antara puluhan guru kognitif yang bicaranya selalu melebar ke mana-mana. Mungkin karena guru kognitif tahu banyak, sedangkan guru kreatif berbuatnya lebih banyak.
1. Guru Kognitif
Guru kognitif hanya mengajar dengan mulutnya. Dia berbicara panjang lebar di depan siswa dengan menggunakan alat tulis. Guru-guru ini biasanya sangat bangga dengan murid-murid yang mendapat nilai tinggi. Guru ini juga bangga kepada siswanya yang disiplin belajar, rambutnya dipotong rapi, bajunya dimasukkan ke dalam celana atau rok, dan hafal semua yang dia ajarkan. Bagi guru-guru kognitif, pusat pembelajaran ada di kepala manusia, yaitu brain memory. Asumsinya, semakin banyak yang diketahui seseorang, semakin pintarlah orang itu.
Dan semakin pintar akan membuat seseorang memiliki masa depan yang lebih baik. Guru kognitif adalah guru-guru yang sangat berdisiplin. Mereka sangat memegang aturan, atau meminjam istilah para birokrat (PNS), sangat patuh pada ”tupoksi”. Saya sering menyebut mereka sebagai guru kurikulum. Kalau di silabus tertulis buku yang diajarkan adalah buku ”x” dan bab-bab yang diberikan adalah bab satu sampai dua belas, mereka akan mengejarnya persis seperti itu sampai tuntas.
Karena ujian masuk perguruan tinggi adalah ujian rumus, guru-guru kognitif ini adalah kebanggaan bagi anak-anak yang lolos masuk di kampus-kampus favorit. Kalau sekarang, mereka adalah kebanggaan bagi siswa-siswa peserta UN. Sayangnya, sekarang banyak ditemukan anak-anak yang cerdas secara kognitif sulit menemukan ”pintu” bagi masa depannya. Anak-anak ini tidak terlatih menembus barikade masa depan yang penuh rintangan, lebih dinamis ketimbang di masa lalu, kaya dengan persaingan, dan tahan banting.
Saya sering menyebut anak-anak produk guru kognitif ini ibarat kereta api Jabodetabek yang hanya berjalan lebih cepat daripada kendaraan lain karena jalannya diproteksi, bebas rintangan. Beda benar dengan kereta supercepat Shinkanzen yang memang cepat. Yang satu hanya menaruh lokomotif di kepalanya, sedangkan yang satunya lagi, selain di kepala, lokomotif ada di atas seluruh roda besi dan relnya.
2. Guru Kreatif Ini guru yang sering kali dianggap aneh di belantara guru-guru kognitif. Sudah jumlahnya sedikit, mereka sering kali kurang peduli dengan tupoksi dan silabus. Mereka biasanya juga sangat toleran terhadap perbedaan dan cara berpakaian siswa. Tetapi, mereka sebenarnya guru yang bisa mempersiapkan masa depan anak-anak didiknya. Mereka bukan sibuk mengisi kepala anak-anaknya dengan rumus-rumus, melainkan membongkar anak-anak didik itu dari segala belenggu yang mengikat mereka.
Belenggu- belenggu itu bisa jadi ditanam oleh para guru, orang tua, dan tradisi seperti tampak jelas dalam membuat gambar (pemandangan, gunung dua buah, matahari di antara keduanya, awan, sawah, dan seterusnya). Atau belenggu-belenggu lain yang justru mengantarkan anak-anak pada perilaku-perilaku selfish, ego-centrism, merasa paling benar,sulit bergaul, mudah panik, mudah tersinggung, kurang berbagi, dan seterusnya.
Guru-guru ini
mengajarkan life skills, bukan sekadar soft skills, apalagi hard skill. Berbeda
dengan guru kognitif yang tak punya waktu berbicara tentang kehidupan, mereka
justru bercerita tentang kehidupan (context) yang didiami anak didik. Namun,
lebih dari itu, mereka aktif menggunakan segala macam alat peraga. Bagi mereka,
memori tak hanya ada di kepala, tapi juga ada di seluruh tubuh manusia.
Memori manusia yang kedua ini dalam biologi dikenal sebagai myelin dan para neuroscientist modern menemukan myelin adalah lokomotif penggerak (muscle memory). Di dalam ilmu manajemen, myelin adalah faktor pembentuk harta tak kelihatan (intangibles) yang sangat vital seperti gestures, bahasa tubuh, kepercayaan, empati, keterampilan, disiplin diri,dan seterusnya.
Memori manusia yang kedua ini dalam biologi dikenal sebagai myelin dan para neuroscientist modern menemukan myelin adalah lokomotif penggerak (muscle memory). Di dalam ilmu manajemen, myelin adalah faktor pembentuk harta tak kelihatan (intangibles) yang sangat vital seperti gestures, bahasa tubuh, kepercayaan, empati, keterampilan, disiplin diri,dan seterusnya.
Saat bertemu
guru-guru kognitif, saya sempat bertanya apakah mereka menggunakan alat-alat
peraga yang disediakan di sekolah? Saya terkejut, hampir semua dari mereka
bilang tidak perlu, semua sudah jelas ada di buku. Beberapa di antara mereka
bahkan tidak tahu bahwa sekolah sudah menyediakan mikroskop dan alatalat bantu
lainnya. Sebaliknya,guru-guru kreatif mengatakan: ”Kalau tidak ada alat
peraga,kita akan buat sendiri dari limbah. Kalau perlu, kita ajak siswa turun
ke lapangan mengunjungi lapangan. Kalau tak bisa mendatangkan Bapak ke dalam
kelas, kita ajak siswa ke rumah Bapak,” ujarnya. Saya tertegun. Seperti itulah
guru-guru yang sering saya temui di negara-negara maju. Di negara-negara maju
lebih banyak guru kreatif daripada guru kognitif. Mereka tak bisa mencetak
juara Olimpiade Matematika atau Fisika,tetapi mereka mampu membuat generasi
muda menjadi inovator, entrepreneur, dan CEO besar.
Mereka kreatif dan
membukakan jalan menuju masa depan. Saat membuat disertasi di University of
Illinois, para guru besar saya bukan memaksa saya membuat tesis apa yang mereka
inginkan, melainkan mereka menggali dalam-dalam minat dan objektif masa depan
saya. Sewaktu saya bertanya, mereka menjawab begini: ”Anda tidak memaksakan
badan Anda pada baju kami, kami hanya membantu setiap orang untuk membuat
bajunya sendiri yang sesuai dengan kebutuhannya.” Selamat merayakan Hari
Pendidikan dan jadilah guru yang mengantarkan kaum muda ke jendela masa depan
mereka.