MENGULUR WAKTU DATANG KE MASJID
SEHINGGA KHATIB NAIK MIMBAR
Di antara kaum muslimin ada yang berlambat-lambat ketika
mendatangi shalat Jum’at sehingga khatib naik mimbar. Padahal dengan demikian
itu mereka telah kehilangan banyak kebaikan serta pahala yang melimpah.
Di dalam ash-Shahiihain (Shahiih al-Bukhari dan Shahiih Muslim) disebutkan,
dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah bersabda
“Barangsiapa mandi pada hari Jum’at seperti mandi junub kemudian dia
berangkat ke masjid, maka seakan-akan dia berkurban dengan unta. Barangsiapa
berangkat pada waktu kedua, maka seakan-akan dia berkurban dengan sapi.
Barangsiapa berangkat pada waktu ketiga, maka seakan-akan dia berkurban dengan
kambing yang bertanduk. Barangsiapa berangkat pada waktu keempat, maka
seakan-akan dia berkurban dengan ayam. Dan barangsiapa berangkat pada waktu
kelima, maka seakan-akan dia berkurban dengan telur. Jika imam (khatib) telah
datang, maka Malaikat akan hadir untuk mendengarkan Khutbah.”
Maksudnya, para Malaikat itu menutup lembaran catatan pahala bagi mereka yang
terlambat sehingga tidak mendapatkan pahala yang lebih bagi orang-orang yang
masuk masjid (di saat khatib sudah naik mimbar). Pengertian tersebut diperkuat
oleh hadits berikut ini:
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani. Dari Abu
Ghalib, dari Abu Umamah, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Pada hari Jum’at para Malaikat duduk di pintu-pintu masjid yang bersama
mereka lembaran-lembaran catatan. Mereka mencatat orang-orang (yang datang
untuk shalat), di mana jika imam (khatib) telah datang menuju ke mimbar, maka
lembaran-lembaran catatan itu akan ditutup.”
Lalu kutanyakan, “Hai Abu Umamah, kalau begitu bukankah orang yang datang
setelah naiknya khatib ke mimbar berarti tidak ada Jum’at baginya?” Dia
menjawab, “Benar, tetapi bukan bagi orang yang telah dicatat di dalam
lembaran-lembaran catatan.”
TIDAK MANDI, TIDAK PULA MEMAKAI
WANGI-WANGIAN, DAN TIDAK BERSIWAK PADA HARI JUM’AT
Di antara jama’ah ada juga yang mengabaikan masalah mandi
dan memakai wangi-wangian pada hari Jum’at. Padahal Islam menghendaki kaum
muslimin supaya berkumpul pada hari Jum’at pada pertemuan mingguan dalam
keadaan sesempurna mungkin, berpenampilan paling baik, serta memakai
wangi-wangian yang paling wangi sehingga orang lain tidak terganggu oleh bau
yang tidak sedap. Serta tidak juga mengganggu para Malaikat.
Di dalam kitab ash-Shahiihain disebutkan, dari Abu Bakar bin al-Munkadir, dia
berkata, ‘Amr bin Sulaim al-Anshari pernah memberitahuku, dia berkata, Aku
bersaksi atas Abu Sa’id yang mengatakan, Aku bersaksi bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Mandi pada hari Jum’at itu wajib bagi setiap orang yang sudah baligh. Dan
hendaklah dia menyikat gigi serta memakai wewangian jika punya.”
Di dalam kitab Shahiih al-Bukhari juga disebutkan, dari Salman al-Farisi, dia
berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
“Tidaklah seseorang mandi dan bersuci semampunya pada hari Jum’at, memakai
minyak rambut atau memakai minyak wangi di rumahnya kemudian keluar lalu dia
tidak memisahkan antara dua orang (dalam shaff) kemudian mengerjakan shalat dan
selanjutnya dia diam (tidak berbicara) jika khatib berkhutbah, melainkan akan
diberikan ampunan kepadanya (atas kesalahan yang terjadi) antara Jum’atnya itu
dengan Jum’at yang berikut-nya.”
TIDAK MAU MENEMPATI BARISAN (SHAFF) PERTAMA MESKI
DATANG LEBIH AWAL
Di antara jama’ah ada yang datang ke masjid lebih awal dan mendapati
barisan pertama masih kosong, tetapi dia malah memilih untuk menempati barisan
kedua atau ketiga agar bisa bersandar ke tiang misalnya, atau memilih barisan
belakang sehingga dia bisa bersandar ke dinding misalnya. Semuanya itu
bertentangan dengan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk segera
menduduki barisan pertama yang didapatinya selama dia bisa sampai ke tempat
tersebut, karena agungnya pahala yang ada padanya serta banyaknya keutamaan
yang terkandung padanya. Dan seandainya dia tidak bisa sampai ke tempat itu
kecuali dengan cara undian, maka hendaklah dia melakukan hal tersebut sehingga
dia tidak kehilangan pahala yang melimpah itu.
Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seandainya orang-orang itu mengetahui apa yang terdapat pada seruan adzan
dan shaff pertama kemudian mereka tidak mendapatkan jalan, kecuali harus
melakukan undian, niscaya mereka akan melakukannya.”
Dan dalam riwayat Muslim disebutkan:
“Seandainya kalian atau mereka mengetahui apa yang terdapat di shaff
terdepan, niscaya akan dilakukan undian.”
Dengarlah keutamaan yang melimpah bagi orang yang bersuci dan bersegera
mendatanginya.
Telah diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, yang
dinilai hasan oleh at-Tirmidzi serta dinilai shahih oleh al-Albani di dalam
kitab Shahiih as-Sunan, dari Aus bin Aus Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa mandi pada hari Jum’at dan membersihkan diri, lalu cepat-cepat
dan bergegas, serta berjalan kaki dan tidak menaiki kendaraan, juga mendekati posisi
imam, kemudian mendengarkan lagi tidak lengah, maka baginya setiap langkah
amalan satu tahun, dengan pahala puasa dan qiyamul lail yang ada pada tahun
itu.”
Mengenai penafsiran kalimat, ghassala wa ightasala, para ulama memiliki dua
pendapat:
- Membasahi
kepala dan mandi, sebagai upaya membersihkan diri secara maksimal. Dan ini
merupakan pendapat Ibnul Mubarak.
- Mencampuri
isterinya sehingga dia harus membersihkan diri dan mandi. Dan inilah
pendapat Waki’.
Mereka menyunnahkan seseorang mencampuri isterinya pada hari
Jum’at karena dua alasan:
- Agar
nafsu syahwatnya tersalurkan pada tempat yang halal sehingga dia berangkat
menunaikan shalat Jum’at dan bisa menundukkan pandangan, mengonsentrasikan
pikiran untuk mendengarkan khutbah dan mengambil pelajaran dari nasihat
yang disampaikan.
- Mudah-mudahan
dengan apa yang dilakukannya itu Allah akan memberikan berkah sehingga
akan mengeluarkan dari tulang rusuknya anak-anak yang shalih, sehingga
dengan demikian itu telah menanamkan benihnya pada hari yang penuh berkah,
yaitu hari Jum’at. Di antara yang memperkuat makna itu adalah: “Barangsiapa
mandi seperti mandi janabat pada hari Jum’at dan kemudian pergi
berangkat…”
Bakkara wa ibtakara, ada yang mengatakan, Hal
tersebut sebagai ta’kiid (penekanan) dan ada juga yang mengatakan: bakkara
berarti berangkat pagi-pagi ke masjid. Ibtakara berarti mendengar
khuthbah dari sejak awal.
Danaa min al-Imaam berarti menempati barisan-barisan pertama yang dekat
dengan imam (khatib).
Fastama’a walam yalghu berarti mendengarkan khutbah dan tidak lengah
darinya oleh aktivitas lainnya.
MELANGKAHI PUNDAK JAMA’AH YANG
DATANG LEBIH AWAL PADA HARI JUM’AT
Di antara kaum muslimin ada yang datang terlambat ke masjid,
sehingga dia menyela jama’ah yang datang lebih awal dan duduk dengan melangkahi
pundak mereka sehingga dia sampai ke barisan pertama. Dan ini jelas salah.
Mestinya dia harus menempati tempat yang terakhir kali ia dapatkan.
Telah diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani, dari
Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ada seseorang masuk masjid
pada hari Jum’at sedang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah
menyampaikan khutbah, lalu dia melangkahi orang-orang, maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Duduklah, karena sesungguhnya engkau telah mengganggu (orang-orang) dan
datang terlambat.”
ORANG YANG MASUK KE MASJID
BERDIRI DAN MENUNGGU SAMPAI ADZAN SELESAI DIKUMANDANGKAN, BARU KEMUDIAN
MENGERJAKAN SHALAT TAHIYYATUL MASJID
Sebagian orang jika memasuki masjid sedang khathib sudah
berada di atas mimbar dan muadzin masih mengumandangkan adzan maka dia akan
tetap berdiri sambil menunggu adzan selesai. Dan ketika muadzin selesai
mengumandangkan adzan dan khatib menyampaikan khutbah, baru dia mulai
mengerjakan shalat Tahiyyatul Masjid. Ini merupakan tindakan yang salah.
Mendengar adzan adalah sunnah, sementara mendengar khutbah adalah wajib,
sehingga yang wajib harus diutamakan. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan
mengabaikan yang wajib untuk menunaikan yang sunnah.
Dengan demikian, yang benar adalah memulai shalat Tahiyyatul Masjid langsung
ketika sampai di masjid meskipun muadzin tengah mengumandangkan adzan agar dia
bisa mendengar khutbah secara lengkap.
BERBICARA SAAT KHUTBAH TENGAH BERLANGSUNG
Di antara jama’ah ada juga yang berbincang dengan orang secara perlahan
di sekitarnya saat khutbah tengah berlangsung. Dan ini jelas salah, karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk diam guna mendengarkan
khutbah Jum’ah dengan seksama.
Sebagaimana yang telah kami sampaikan sebelumnya, yaitu satu hadits yang
diriwayatkan empat perawi dan dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dari Aus bin
Aus Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda:
“Barangsiapa mandi pada hari Jum’at dan membersihkan diri, lalu cepat-cepat
dan bergegas, serta berjalan kaki dan tidak menaiki kendaraan, juga mendekati
posisi imam, kemudian mendengarkan lagi tidak lengah, maka baginya setiap
langkah amalan satu tahun, dengan pahala puasa dan qiyamul lail yang ada pada
tahun itu.”
Di dalam kitab ash-Shahiihain telah disebutkan dari Abu Hurairah, dia berkata,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika engkau mengatakan kepada temanmu, ‘Diam,’ pada hari Jum’at dan imam
sedang berkhutbah, berarti engkau telah berbuat sia-sia.”
Lalu apa hukuman bagi orang yang berbicara atau melangkahi pundak
jama’ah?
Hukumannya adalah tidak ditetapkan baginya pahala shalat Jum’at dan dia juga
tidak akan mendapatkan keutamaannya, dan shalat Jum’at itu hanya akan menjadi
shalat Zhuhur baginya.
Yang demikian itu didasarkan pada apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu
Khuzaimah yang dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin
al-‘Ash bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“Barangsiapa mandi pada hari Jum’at, lalu memakai minyak wangi isterinya
jika dia punya, dan mengenakan pakaian yang bagus, lalu tidak melangkahi pundak
orang-orang, serta tidak lengah saat diberi nasihat (khutbah), maka hal itu
menjadi penghapus dosa (kecil) antara keduanya. Dan barangsiapa lengah dan
melangkahi pundak orang-orang, maka shalat Jum’atnya itu menjadi shalat Zhuhur
baginya. ”
JAMA’AH TIDUR SEMENTARA KHATIB
TENGAH MENYAMPAIKAN KHUTBAHNYA
Sebagian orang tertidur sementara khatib sudah berada di
atas mimbar. Dan ini jelas salah dan dia harus dibangunkan untuk mendengarkan
nasihat.
Ibnu Sirin mengatakan, “Mereka memakruhkan tidur ketika khatib khutbah. Dan
mereka berkata tegas mengenai hal tersebut.”
Dan disunnahkan bagi orang yang dihinggapi rasa kantuk untuk pindah dari
tempatnya ke tempat lain di masjid. Mengenai hal tersebut telah diriwayatkan
oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Hibban dengan sanad shahih dari
‘Abdullah bin ‘Umar, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
“Jika salah seorang di antara kalian mengantuk di tempat duduknya pada hari
Jum’at, maka hendaklah dia pindah (bergeser) dari tempat itu ke tempat
lainnya.”
BERSANDARNYA SEBAGIAN ORANG KE
DINDING DAN TIDAK MENGHADAP KHATIB
Ada sebagian orang yang dalam mendengarkan khutbah Jum’at
lebih senang bersandar ke dinding atau tiang dan tidak menghadap ke arah
khatib, bahkan mereka membelakanginya. Dan ini jelas bertentangan dengan
petunjuk para Sahabat Nabi di dalam khutbah Jum’at dan juga bertolak belakang
dengan etika mendengar khutbah.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan, “Jika berkhutbah Jum’at,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, sementara Sahabat-Sahabat
beliau menghadapkan wajah mereka ke arah beliau.”
Dari Muthi’ al-Ghazal dari ayahnya dari kakeknya, dia berkata, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika sudah menaiki mimbar, maka kami pun
menghadapkan wajah kami ke arah beliau.”
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Jika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa salam sudah berdiri tegak di atas mimbar, maka kami langsung
menghadapkan wajah kami ke arah beliau.”
Dari Abban bin ‘Abdullah al-Bajali, dia berkata, Aku pernah melihat ‘Adi bin
Tsabit menghadapkan wajahnya ke arah khatib jika khatib itu berdiri sambil
berkhutbah. Lalu aku tanyakan kepadanya, “Aku lihat engkau menghadapkan wajahmu
ke khatib?” Dia menjawab, “Karena aku pernah melihat para Sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal tersebut.”
Dari Nafi’, mantan budak Ibnu ‘Umar bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar mengerjakan
shalat sunnah pada hari Jum’at hingga selesai sebelum khatib keluar, dan ketika
khatib telah datang sebelum khatib itu duduk, dia (‘Abdullah bin ‘Umar)
menghadapkan wajah ke arahnya.
Imam Ibnu Syihab az-Zuhri rahimahullahu mengatakan, “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam jika menyampaikan khutbahnya, maka mereka langsung
mengarahkan wajah mereka kepadanya sampai beliau selesai dari khutbahnya"
Imam Yahya bin Sa’id al-Anshari rahimahullahu mengatakan, “Yang sunnah untuk
dilakukan adalah jika khatib sudah duduk di atas mimbar pada hari Jum’at, maka
hendaklah semua orang mengarahkan wajah ke arahnya.”
Al-Atsram mengatakan, aku pernah katakan kepada Abu ‘Abdullah, “Ketika
khatib berada agak jauh di sebelah kananku, maka apakah jika aku ingin
menghadap kepadanya, aku harus mengalihkan wajahku dari arah kiblat?” Dia
menjawab, “Ya, arahkan wajahmu kepadanya.”
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Disunnahkan bagi
orang-orang untuk menghadap ke arah khatib jika dia tengah berkhutbah. Dan itu
merupakan pendapat Malik, at-Tsauri, al-Auza’i, asy-Syafi’i, Ishaq, dan Ashabur
rayi.”
Ibnu Mundzir rahimahullahu mengatakan, “Hal itu bagaikan ijma’ (kesepakatan
para ulama).”
At-Tirmidzi rahimahullahu mengatakan, “Pengamalan terhadap hal tersebut
dilakukan oleh para ulama dari kalangan Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan juga yang lainnya mereka menyunnahkan untuk menghadap ke khatib jika
dia tengah berkhutbah.”
MEMAINKAN BIJI TASBIH ATAU KUNCI
SAAT KHUTBAH BERLANGSUNG
Sebagian orang ada yang melakukan hal yang sia-sia baik
dengan kunci-kunci atau biji tasbih yang ada di tangannya saat mendengar
khutbah Jum’at. Ini jelas bertentangan dengan ketenangan dan perhatian
terhadap peringatan dan nasihat yang disampaikan kepadanya.
Bahkan hal tersebut masuk ke dalam kelengahan yang dilarang untuk dilakukan.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahiihnya dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda
“Barangsiapa yang memegang batu kerikil berarti dia telah berbuat sia-sia.”
Dan terkadang ada juga salah seorang dari mereka yang mengeluarkan kayu siwak
dan bersiwak saat khutbah tengah berlangsung. Ini juga termasuk dalam kategori lengah
(berbuat sia-sia).
MEMISAHKAN DUA ORANG YANG DUDUK
BERDAMPINGAN PADA HARI JUM’AT
Terkadang ada orang yang datang terakhir ke masjid, lalu
melangkahi pundak-pundak jama’ah yang datang lebih awal serta memisahkan duduk
orang-orang agar dia bisa sampai di barisan pertama. Dan ini merupakan satu hal
yang dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menurut Ibnu Majah dan
dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani.
“Dari Jabir bin ‘Abdullah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ada seseorang masuk
masjid pada hari Jum’at sedang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah
menyampaikan khuthbah, lalu dia melangkahi orang-orang, maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Duduklah, karena sesungguhnya engkau
telah mengganggu (orang-orang) dan datang terlambat.”
Kemudian orang yang memisahkan di antara dua orang ini, yakni dengan melangkahi
keduanya atau duduk di antara keduanya benar-benar telah kehilangan pahala
yang besar, yaitu yang disebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari, dari Salman al-Farisi Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at dan bersuci semampunya, memakai
minyak rambut atau memakai minyak wangi rumahnya kemudian keluar lalu dia
tidak memisahkan antara dua orang dan kemudian mengerjakan shalat sunnah
dan selanjutnya dia diam (tidak berbicara) jika khatib berkhutbah, melainkan
akan diberikan ampunan kepadanya (atas kesalahan yang terjadi) antara Jum’atnya
itu dengan Jum’at yang berikutnya”.
Al-Hafizh rahimahullahu mengatakan, “Setelah dilakukan penghimpunan terhadap
jalan-jalan dan lafazh-lafazh hadits, maka tampak sekumpulan dari apa yang kami
sampaikan tadi bahwa penghapusan dosa dari hari Jum’at ke Jum’at berikutnya itu
dengan syarat adanya semua hal berikut ini:
- Mandi
dan membersihkan diri.
- Memakai
minyak wangi atau minyak rambut.
- Memakai
pakaian yang paling bagus.
- Berjalan
kaki dengan penuh ketenangan.
- Tidak
melangkahi pundak jama’ah yang datang lebih awal.
- Tidak
memisahkan antara dua orang yang berdampingan.
- Tidak
mengganggu.
- Mengerjakan
amalan-amalan sunnah.
- Diam.
- Tidak
melakukan aktivitas yang melengahkan”
Lebih lanjut, al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Di dalam
hadits ‘Abdullah bin ‘Amr disebutkan, ‘Oleh karena itu, barangsiapa
melangkahi orang atau melakukan hal yang melengahkan, maka baginya shalat
Jum’at itu hanya shalat Zhuhur semata"
TIDAK MEMISAHKAN ANTARA SHALAT
JUM’AT DAN SHALAT SUNNAHNYA DENGAN PINDAH TEMPAT ATAU PEMBICARAAN
Di antara kaum muslimin ada yang mengerjakan shalat Jum’at,
kemudian berdiri dan langsung mengerjakan shalat sunnah Ba’diyah. Dan ini jelas
salah.
Yang benar adalah pindah ke tempat lain untuk kemudian mengerjakan shalat sunnah
atau minimal berbicara meski hanya dengan sedikit dzikir atau tasbih atau yang
semisalnya untuk menyempurnakan pemisahan antara shalat Jum’at dengan shalat
sunnahnya.
Yang menjadi dalil bagi hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Muslim di dalam kitab Shahiihnya dari ‘Umar bin ‘Atha’ bin Abil Khuwar:
“Bahwa Nafi’ bin Jubair pernah mengutusnya menemui as-Saib, anak dari
saudara perempuan Namr untuk menanyakan kepadanya tentang sesuatu yang
dilihatnya dari Mu’awiyah dalam shalat, maka dia menjawab, ‘Ya, aku pernah
mengerjakan shalat Jum’at bersamanya di dalam maqshurah. Setelah imam
mengucapkan salam, aku langsung berdiri di tempatku semula untuk kemudian
mengerjakan shalat, sehingga ketika dia masuk, dia mengutus seseorang kepadaku
seraya berkata, ‘Janganlah engkau mengulangi perbuatan itu lagi. Jika engkau
telah mengerjakan shalat Jum’at, maka janganlah engkau menyambungnya dengan
suatu shalat sehingga engkau berbicara atau keluar (dari tempatmu), karena
sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan hal
tersebut kepada kita, yaitu tidak menyambung shalat sehingga kita berbicara
atau keluar.’”
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalamnya terdapat dalil atas apa yang
dikemukakan oleh rekan-rekan kami bahwa
shalat-shalat nafilah rawatib dan juga yang lainnya disunnahkan untuk berpindah
dari tempat pelaksanaan shalat fardhu ke tempat lain.
Tetapi perlu saya kemukakan, shalat nafilah (sunnah) di rumah lebih afdhal
(utama) dengan beberapa dalil berikut:
- Hadits
yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin ‘Abdullah Radhiyallahu
‘anhuma, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika
salah seorang di antara kalian selesai menunaikan shalat di masjid, maka
hendaklah dia memberikan bagian untuk rumah tersebut di dalam shalatnya,
karena sesungguhnya Allah memberikan kebaikan di dalam rumahnya dari
shalatnya itu.”
- Diriwayatkan
oleh al-Bukhari dan Muslim, dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dia
berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Kerjakanlah sebagian dari shalat kalian di rumah-rumah kalian dan
janganlah kalian menjadikannya laksana kuburan.” [5] An-Nawawi
rahimahullah mengatakan, “Artinya, shalatlah di rumah kalian dan janganlah
engkau menjadikan tempat tinggal kalian itu seperti kuburan yang tidak
pernah ditempati untuk shalat. Dan yang dimaksudkan di sini adalah
shalat sunnah. Dengan kata lain: kerjakanlah shalat sunnah di rumah
kalian.”
- Diriwayatkan
oleh asy-Syaikhan (al-Bukhari dan Muslim) dari Zaid bin Tsabit
Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Hendaklah kalian mengerjakan shalat di rumah kalian, karena
sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya, kecuali shalat wajib.”
MENINGGALKAN SHALAWAT ATAS NABI
SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM PADA HARI JUM’AT
Sebagian orang ada yang lalai untuk bershalawat atas Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Jum’at, meskipun keutamaannya sangat
besar, pahalanya pun begitu melimpah, khususnya pada hari Jum’at.
Telah diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim, yang dinilai shahih
olehnya serta disetujui oleh adz-Dzahabi dan al-Albani.
Dari Aus bin Aus Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya sebaik-baik hari-hari kalian adalah hari Jum’at, karenanya
perbanyak shalawat atas diriku pada hari tersebut, karena shalawat kalian akan
diperlihatkan kepadaku.” Lalu para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah,
bagaimana shalawat kami akan diperlihatkan kepadamu sedang engkau telah hancur lebur?”
Dia berkata, dia mengatakan, “Telah rusak berserakan.” Maka beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
mengharamkan tanah dari memakan jasad-jasad para Nabi.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang hasan. Dari Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Tidaklah seseorang memberikan salam (shalawat) kepadaku melainkan Allah
akan mengembalikan ruhku sehingga aku bisa menjawab salam (shalawat) padanya.”
Dan shighah (bentuk) shalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
paling baik adalah yang ditetapkan di dalam kitab ash-Shahiihain, sebagai
berikut: Dari Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu ‘anhu, ditanyakan, “Wahai
Rasulullah, mengenai salam kepadamu, maka kami telah mengetahuinya, tetapi
bagaimana kami harus bershalawat kepadamu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
“Ucapkanlah, ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas Muhammad dan keluarga
Muhammad, sebagaimana Engkau telah bershalawat atas Ibrahim dan keluarga
Ibrahim, sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahamulia. Ya Allah, berikanlah
berkah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah berikan
berkah kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Mahaterpuji
lagi Mahamulia.”
TIDAK MENGERJAKAN SHALAT
TAHIYYATUL MASJID KETIKA KHATIB TENGAH MENYAMPAIKAN KHUTBAH
Di antara kaum muslimin ada yang selalu me-ngerjakan shalat
Tahiyyatul Masjid, karena dia mengetahui bahwa shalat tersebut adalah sunnah
muakadah (yang ditekankan).
Yang demikian itu didasarkan pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah duduk
sehingga mengerjakan shalat dua rakaat.”
Tetapi, jika dia masuk masjid ketika khatib sedang menyampaikan khutbah maka
dia langsung duduk dan tidak mengerjakan shalat Tahiyyatul Masjid. Dan jika
ditanyakan kepadanya mengenai alasan tindakannya itu maka dia menjawab, karena
aku pernah mendengar satu hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang di dalamnya beliau bersabda, “Jika seorang khatib telah menaiki
mimbar, maka tidak ada shalat dan pembicaraan.”
Maka dapat kami katakan bahwa hadits ini dha’if jiddan (lemah sekali)
yang tidak bisa dijadikan sebagai dalil pijakan. Telah diriwayatkan oleh
ath-Thabrani di dalam kitab al-Kabiir dan di dalam sanadnya terdapat Ayyub bin
Nuhaik, dia munkarul hadits. Oleh karena itu, hadits ini dinilai dha’if oleh
al-Haitsami di dalam kitab Maj-ma’uz Zawaa-id (II/184) dan juga al-Hafizh Ibnu
Hajar di dalam kitab Fat-hul Baari (II/409).
Sementara itu, al-Albani di dalam kitab, Sil-silah al-Ahaadiits adh-Dha’iifah
(no. 87) mengatakan, “Hadits ini bathil.”
Bahkan telah ditegaskan perintah untuk mengerjakan shalat dua rakaat tersebut
bagi orang yang datang ketika khatib sedang menyampaikan khutbahnya. Di dalam
kitab ash-Shahiihain disebutkan: Dari Jabir bin ‘Abdullah, dia berkata, Ada
seseorang datang ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah menyampaikan
khutbah kepada jama’ah pada hari Jum’at, lalu beliau bertanya:
“Apakah kamu sudah mengerjakan shalat (Tahiyyatul Masjid), hai fulan?
“Belum,” jawabnya. Maka beliau bersabda: “Berdiri dan kerjakanlah shalat dua
rakaat.”
Dalam riwayat Muslim disebutkan dari Jabir bin ‘Abdullah, dia berkata, Sulaik
al-Ghathafani pernah datang ke masjid pada hari Jum’at sedang Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah memberi khutbah lalu dia langsung duduk,
maka beliau berkata kepadanya, “Wahai Sulaik, berdiri dan kerjakanlah
shalat dua rakaat dan perpendeklah dalam mengerjakan shalat tersebut.” Kemudian
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika salah seorang di antara
kalian datang (ke masjid) pada hari Jum’at sedang imam tengah berkhutbah, maka
hendaklah dia mengerjakan shalat 2 rakaat dan perpendeklah shalat tersebut.”
[Disalin dari kitab kitab al-Kali-maatun Naafi’ah fil Akhthaa' asy-Syaai’ah,
Bab “75 Khathaan fii Shalaatil Jumu’ah.” Edisi Indonesia 75 Kesalahan Seputar
Hari dan Shalat Jum’at, Karya Wahid bin ‘Abdis Salam Baali. Penerbit Pustaka
Ibnu Katsir]
src punya-magna_@ariswahyu37