1. Kiblat kaum muslimin adalah Ka’bah di kota Mekkah Al-Mukarramah.
2. Bagi orang yang bisa melihat Ka’bah secara langsung
(misalnya, orang yang berada di masjidil haram) maka wajib menghadapkan
tubuhnya tepat persis ke arah Ka’bah.
3. Bagi yang tidak bisa melihat Ka’bah (misalnya orang
Indonesia), maka cukup menghadapkan tubuhnya ke arah Ka’bah berada yaitu ke
arah barat bagi orang yang berada di timur Ka’bah. Dan tidak harus menghadap
tepat persis ke Ka’bah. Oleh karena itu, tidak perlu serong beberapa derajat ke
utara ketika shalat. Demikian, menurut pendapat yang paling kuat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
memerintahkan para sahabat untuk shalat persis menghadap Ka’bah. Beliau
bersabda, “Antara timur dan barat adalah kiblat.” (HR. Turmudzi &
dishahihkan Al-Albani)
Hadis ini beliau sampaikan ketika beliau di Madinah,
sedangkan Mekkah berada di sebelah selatan. Beliau mengajarkan kepada para
sahabat bahwa selama menghadap ke selatan (antara timur dan barat) maka sudah
dianggap menghadap kiblat. Beliau tidak memerintahkan untuk menghadap tepat
persis ke Ka’bah namun beliau hanya menetapkan arahnya, yaitu ke selatan.
4. Orang yang tidak mengetahui arah kiblat, maka wajib
berusaha untuk mencari tahu arah kiblat. Hal ini bisa dilakukan dengan bebecara
cara:
a. Bertanya kepada penduduk setempat atau orang yang tahu.
b. Jika tidak mungkin untuk bertanya maka bisa menggunakan
tanda-tanda alam. Seperti sinar matahari, arah angin, dan sebagainya.
5. Jika dua cara di atas tidak memungkinkan maka shalat
menghadap ke arah manapun berdasarkan dugaan kuat bahwasanya arah itu adalah
kiblat.
6. Jika ternyata arah yang dia pilih itu salah (artinya
tidak menghadap kiblat) maka shalatnya sah dan tidak perlu diulangi.
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
Kami pernah dalam suatu perjalanan, tiba-tiba kami diliputi awan gelap.
Kemudian masing-masing memilih arah kiblat dan arah kiblat kami berbeda-beda.
Seseorang di antara kami membuat garis di depannya supaya tahu ke arah mana
ketika shalat. Ketika di pagi hari, kami melihat garis yang dibuat semalam.
Ternyata kami shalat tidak menghadap kiblat. Kejadian ini kami sampaikan kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam [tetapi beliau tidak menyuruh kami
mengulangi shalat]. Beliau bersabda, “Shalat kalian sudah benar.” (HR.
Daruqutni & dishahihkan Al Albani).
7. Bagi orang yang tidak tahu arah kiblat dan memungkinkan
baginya untuk mengetahui arah kiblat dengan bertanya kepada penduduk setempat
namun dia tidak mau bertanya, sehingga shalatnya tidak menghadap kiblat maka
shalatnya batal dan harus diulangi.
8. Orang yang shalat dengan tidak menghadap kiblat, kemudian
di tengah-tengah shalat dia diingatkan bahwa kiblatnya salah maka tidak perlu
membatalkan shalatnya namun cukup menghadapkan tubuhnya ke arah kiblat yang
benar.
Kiblat di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah mengalami berubahan. Kiblat pertama adalah Baitul Maqdis di Syam (utara
Madinah) kemudian turun Surat Al Baqarah ayat 144 yang mengubah kiblat ke arah
Ka’bah di Masjidil Haram (selatan Madinah).
Suatu ketika, kaum muslimin di masjid Quba shalat subuh
dengan menghadap Baitul Maqdis (utara). Tiba-tiba datang utusan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam di tengah-tengah mereka shalat. Utusan ini mengatakan,
“Sesungguhnya semalam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mendapat wahyu, beliau disuruh menghadap Ka’bah. Maka, hendaklah kalian
menghadap ke sana.” Akhirnya, para sahabat yang sedang melaksanakan shalat
subuh berjamaah memutar arah tubuhnya. Imam berputar, yang awalnya menghadap ke
utara menjadi shalat jamaah menghadap ke selatan. Ini semua mereka lakukan
tanpa membatalkan shalat. (HR. Bukhari & Muslim).
9. Orang yang berada di atas kendaraan
a. Jika ingin melakukan shalat wajib maka diupayakan turun
dari kendaraan. Jika tidak memungkinkan turun maka bisa shalat di atas
kendaraan sambil duduk.
“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
hendak melakukan shalat wajib, beliau turun (dari hewan tunggangannya), lalu
shalat (di tanah) dengan menghadap kiblat.” (HR. Bukhari)
b. Jika ingin shalat sunah maka tidak perlu turun dan bisa
langsung shalat di atas kendaraan sambil duduk.
c. Orang yang shalat di kendaraan boleh tidak menghadap
kiblat jika tidak bisa shalat sambil menghadap kiblat. Tapi shalatnya menghadap
searah dengan kendaraanya atau ke arah mana saja yang mudah baginya.
“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bepergian, beliau biasa melakukan shalat sunah di atas hewan tunggangannya…dan
menghadap ke arah hewan tersebut menghadap [ke timur atau ke barat].” (HR.
Bukhari)
d. Orang yang sedang dalam perjalanan, dianjurkan untuk
memperbanyak shalat sunah di atas kendaraan. Hal ini sebagaimana yang
dipraktekkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana ketika beliau
dalam perjalanan, beliau sering melakukan shalat sunnah di atas kendaraan
(tunggangannya).
Kesalahan-kesalahan
terkait menghadap kiblat
a. Shalat tidak menghadap kiblat, tetapi menghadap kuburan
wali. Sebagaimana perbuatan sebagian orang sufi.
b. Serong ke utara beberapa derajat. Kesalahan ini
menyebabkan shaf shalat jamaah tidak bisa lurus. Karena ada jamaah yang serong
dan ada yang tidak. Akibatnya shaf shalat berantakan.
c. Terlalu memaksakan diri untuk tepat menghadap Ka’bah.
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk
tepat persis ke arah Ka’bah, sebagaimana penjelasan di atas. Kesalahan ini
menyebabkan shaf-shaf di sebagian masjid diserongkan ke utara sehingga menjadi
tidak teratur. Bisa jadi mungkin ada yang membongkar masjid dan dihadapkan
tepat ke arah Ka’bah.
Ini semua merupakan bentuk pemaksaan diri yang terlarang. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Semoga binasa orang yang memaksa-maksakan
diri.” Beliau mengulanginya sebanyak tiga kali (HR. Muslim). Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Wahai manusia, jauhilah sikap
berlebih-lebihan (ghuluw) dalam beragama. Karena sikap ini telah membinasakan
umat-umat sebelum kalian.” (HR. Nasa’i & disahihkan Syaikh Salim)
Disusun oleh Ustadz Ammi Nur Baits